Jika disuruh mengembalikan ingatan, mencari korelasi masa kanak-kanak dan remaja yang erat kaitannya dengan kegemaran saya menjelajah negeri dan benua lain, barangkali salah satu diantaranya adalah Pramuka. Semasa SD hingga SMP, Pramuka merupakan kegiatan yang selalu saya tunggu-tunggu datangnya. Senang rasanya bisa meninggalkan ruang kelas untuk bermain di alam terbuka. Belajar menyeberang sungai dengan meniti sebatang bambu, memanjat dan menyusur tebing dengan seutas tali, mencari jejak dalam kegelapan malam, dan seabrek kegiatan adventurous lain yang mengasyikkan.
Bila saat berkemah tiba, saya makin girang karena tak hanya meninggalkan ruang kelas, tetapi juga meninggalkan rumah. Meninggalkan kenyamanan kasur dan kelambu menuju pembaringan berupa selembar tikar beralas rumput dan tanah lapangan. Sementara itu angin malam yang dingin menembus tenda putih kami yang terbuat dari katong terigu segitiga biru. Dan jika hujan tiba-tiba turun di malam hari, seluruh isi tenda menjadi basah kuyup. Kamipun menggigil kedinginan.
Selain bergulat dengan alam yang menuntut ketahanan dan kemandirian, Pramuka juga mengajarkan kepemimpinan atau leadership. Anggota Pramuka biasanya akan dibagi dalam beberapa regu. Tiap regu umumnya terdiri dari 8-10 anggota. Dalam satu regu tersebut harus ada satu ketua dan satu wakil ketua. Jika membentuk barisan, ketua regu akan berada di barisan paling depan atau paling kanan jika berjejer. Sedangkan wakil ketua regu berada di barisan paling belakang atau paling kiri. Sang ketua regu juga harus bisa menjadi leader bagi anggotanya, sementara wakil ketua yang berdiri di barisan paling belakang harus bisa memastikan bahwa timnya tidak ada yang melenceng.
Celakanya, saya selalu ketiban tugas jadi ketua regu. Tentu saja bukan karena saya hebat. Lebih tepatnya karena saya nggak pernah bisa nolak ketika anggota regu menunjuk saya untuk berada di barisan paling depan. Saya pikir-pikir apa susahnya memimpin barisan regu. Cukup bermodal suara lantang untuk menyiapkan dan membubarkan barisan kan? Selebihnya, tiap-tiap anggota Pramuka kan sudah dibekali ilmu survival, sehingga tugas ketua regu hanya memastikan anak buahnya solid.
Tapi, suatu ketika, saya mendapat ujian berat sebagai ketua regu. Waktu itu kami sedang berkemah di kawasan hutan jati di Grobogan, Jawa Tengah. Perkemahan ini dalam rangka persiapan Jambore Nasional (Jamnas) di Cibubur pada tahun 1986. Kawasan hutan jati ini dipilih karena alamnya cukup menantang. Juga terdapat tebing yang bisa digunakan untuk belajar memanjat atau menuruni tebing. Namanya juga persiapan menuju Jambore, jadi perkemahan kali ini juga dipilih di kawasan yang lebih menantang dari kemah-kemah sebelumnya.
Hari pertama dan kedua berjalan dengan indah meski lelah dengan berbagai petualangan alam yang membuat kaki jadi lecet-lecet tergores daun berduri dan terantuk batu. Tragedi terjadi pada malam terakhir, saat jejak malam. Jejak malam memang merupakan kegiatan yang agak menegangkan karena kami harus melintas dalam kegelapan, menuju pos tertentu lalu mendapat sejumlah ujian yang harus dipecahkan di tiap-tiap pos. Acara jejak malam biasanya juga diadakan di saat tubuh mulai terasa lelah, di atas pukul 21.00. Jadi bisa kebayang betapa tidak nyamannya berada dalam kondisi tertekan di tengah malam sementara badan mulai letih dan mata yang terkantuk harus dibuka lebar-lebar untuk mencari jalan dengan mengandalkan lampu senter dan cahaya bintang.
Pos demi pos berhasil kami lalui. Saat pos terakhir berhasil kami lewati, kami pun melangkah dengan lega kembali ke area perkemahan meski tetap harus melewati hutan jati yang gelap. Begitu tiba di area perkemahan dan melapor pada kakak pembina sebelum masuk ke tenda, saya terkejut bukan kepalang. Saat membariskan regu di hadapan kakak pembina, rupanya anggota regu saya tercecer satu orang. Wakil ketua regu yang berada di barisan paling belakang masih tertinggal, entah di mana. Sebagai ketua regu, saya merasa langsung terpuruk. Merasa nggak becus memimpin regu. Bahkan saya hanya bisa menundukkan kepala, tak berani membalas tatapan marah kakak pembina.
Lalu kami disuruh menunggu beberapa saat. Barangkali ia tertinggal karena langkahnya kalah cepat. Kami mulai gelisah ketika barisan regu berikutnya datang, sementara wakil ketua regu saya belum juga nongol. Satu persatu regu lain di belakang kami sudah memasuki area perkemahan. Semua sudah berkumpul kembali di lapangan ini, kecuali wakil ketua regu saya. Suasana pun menjadi keruh. Kakak-kakak pembina mulai memencar mencarinya. Sementara itu kami disuruh beristirahat di tenda masing-masing karena malam sudah begitu larut.
Di dalam tenda saya gelisah, teman-teman lain juga merasa cemas. Ke manakah gerangan dia? Padahal hanya tinggal beberapa langkah saja kami tiba di area perkemahan. Rute kembali yang kami lewati pun tidak terlampau sulit, walau gelap. Bahkan kami melewati jalan beraspal meski kanan kirinya adalah hutan jati. Tinggal mengikuti jalan beraspal, lalu pada tikungan di depan belok kiri menuju area perkemahan. Sepuluh menit berjalan juga akan sampai. Tapi kenapa ia tak bisa sampai ya?
Esok paginya ketika terbangun, saya kembali cemas karena ternyata ia belum ada di tenda kami. Lalu saya keluar tenda mencari informasi. Dari seorang kakak pembina, saya mendapat kabar baik bahwa ia sudah ditemukan dini hari tadi dan saat ini sedang beristirahat di tempat yang lebih nyaman. Kabar buruknya adalah, ia ditemukan dalam keadaan aneh, di atas pohon. Hah?!
Saya tak berani bertanya-tanya lagi karena kakak pembina seperti enggan bercerita banyak, lantas menyuruh kami membongkar tenda dan berkemas. Hari itu memang hari kami kembali ke rumah. Dalam perjalan pulang menggunakan bus, kami tak menyanyikan lagu riang "di sini senang di sana senang". Kami masih berduka dan prihatin, juga penasaran.
No comments:
Post a Comment