Suatu ketika saya membeli bakpia Pathuk bukan untuk oleh-oleh, tetapi untuk menyuguhi tukang batu yang sedang merenovasi rumah. Sekedar memberinya camilan pendamping teh panas untuk suguhan rehat. Karena bukan dalam rangka memberi buah tangan, kali ini saya sengaja membeli bakpia dari brand yang bukan juara satu.
Meskipun bukan bakpia juara, tetapi brand bakpia ini cukup populer di Jogja, terutama di kalangan tukang becak yang biasa mengantar wisatawan membeli oleh-oleh khas Jogja. “Bakpianya sekotak berapa, Mbak?” tanya saya pada penjaga toko oleh-oleh di daerah Pathuk (Jl. K.S Tubun) sambil memilih-milih bakpia. “Kalau yang isi 15 harganya lima belas ribu, yang isi 20 harganya dua puluh ribu,” jawabnya. Lalu si Mbak penjaga toko itu bergeser lebih mendekat ke arah saya dan berbisik, “kalau Mbak-nya datang ke sini nggak diantar tukang becak, nanti dapet diskon tiga ribu rupiah per dos. Tapi diskonnya khusus bakpia aja.”
Saya segera paham. Pantas tukang-tukang becak lebih suka merekomendasikan bakpia KW 2 (kwalitas nomor dua) ini pada para wisatawan karena akan mendapat komisi Rp 3.000 per kotak bakpia yang dibeli. Pantas saja tukang becak rela dibayar Rp 3.000 untuk perjalanan bolak-balik dari Malioboro, Rotowijayan (batik), Pathuk, dan kemudian kembali lagi ke Malioboro. Rupanya komisi yang akan didapat tukang becak dari pembelian bakpia (dan juga batik) jauh lebih banyak ketimbang tarif Rp 3.000 return yang dikenakannya.
Seketika saya terkagum pada kedahsyatan sepotong bakpia Pathuk. Makanan berbahan dasar tepung terigu dengan isi kacang hijau (sekarang sudah lebih variatif, ada isi keju, coklat, nanas, dll), berdiameter sekitar 3 cm ini ternyata memiliki peran yang luar biasa dalam industri pariwisata Yogyakarta. Bakpia bukan sekedar camilan biasa. Pada sepotong bakpia, terdapat potongan memori tentang kota Jogja. Keduanya nyaris tak bisa dilepaskan. Menyebut kata bakpia (Pathuk), akan membawa ingatan kita pada Yogyakarta. Pada sepotong bakpia itu pula, ribuan wong cilik di Yogyakarta (tukang becak dan tukang parkir), mengharap komisi dari hasil penjualan bakpia Pathuk.
Padahal, sebenarnya bakpia bukanlah makanan khas Jogja. Camilan ini merupakan salah satu makanan khas dari daratan Tiongkok alias Cina yang dikenal dengan nama Tou Luk Pia. Keturunan Tionghoa di Indonesia biasa menyebutnya dengan Pia atau Pia-pia. Kue ini berbentuk bulat seperti bakpia (Pathuk), namun memiliki diameter yang lebih besar, hampir dua kali diameter bakpia Pathuk. Isinya beragam, bahkan ada yang isi daging yang sudah dilumatkan. Menemukan Pia juga tidak sulit, di toko-toko kue milik warga Tionghoa biasanya tersedia makanan ini.
Pia mulai berakulturasi dengan budaya Jawa, bahkan kemudian menjadi salah satu ikon kota Jogja, berkat keuletan Liem Yung Yen (Pendiri Bakpia 75). Yung Yen adalah warga kampung Pathuk, daerah di sebelah Barat kawasan Pecinan (Malioboro dan Gandekan), yang sehari-hari membuat penganan seperti Pia dan Bakpao (Bakpao Yung Yen sempat populer di Yogyakarta hingga tahun 80-an). Penganan buatannya itu dijajakan ke kampung-kampung di Yogyakarta pada tahun 1940-an. Agar lebih terjangkau warga kampung, Yung Yen memproduksi Pia dengan ukuran yang lebih kecil. Selain memperkecil size, Yung Yen juga melakukan inovasi pada isi pia dengan menggunakan kacang hijau yang dihaluskan. Kacang hijau merupakan salah satu hasil bumi yang berlimpah di Pulau Jawa dan banyak dikonsumsi sebagai makanan tambahan.
Pia inovasi Yun Yen terasa lebih “membumi” dan cocok dengan lidah Jawa. Camilan yang semula hanya dikenal di kawasan Pecinan, yaitu perkampungan yang dihuni warga Tionghoa, kemudian juga disukai oleh warga kampung-kampung lain di kota Jogja. Peluang bisnis ini segera direspon warga Tionghoa lainnya di daerah Pathuk. Tak sedikit yang kemudian mengikuti jejak Yung Yen menciptakan pia kacang hijau. Toko-toko kecil yang menjual camilan ini pun mulai bermunculan di kawasan Pathuk.
Sementara itu, di daerah lain juga muncul produsen pia lokal dan mempopulerkannya dengan nama bakpia. Sebutan bakpia ini muncul entah karena lidah Jawa yang mudah kesleo dalam memberikan istilah, tetapi barangkali juga karena perintisnya Yung Yen juga memproduksi bakpao, maka camilan pia kacang hijau yang dipopulerkannya lantas dijuluki bakpia.
Salah satu produsen bakpia “pribumi” alias warga Jogja yang cukup populer hingga tahun 70-an adalah Nitigurnito yang tinggal di daerah Tamansari (Jl. Suryowijayan). Bakpia bikinan Nitigurnito sedikit berbeda dengan bakpia Pathuk. Lapisan kulitnya lebih tebal, berwarna putih dengan bagian tengah menjadi kecoklatan setelah dipanggang, jika digigit kulit bakpia tidak rontok berjatuhan. Tidak seperti pia Pathuk yang berkulit tipis dan mudah rontok.
Seperti halnya pia Pathuk yang segera menginspirasi warga sekitar untuk memproduksi dan membuka toko pia, bakpia Nitigurnito yang laris itu segera direspon warga sekitarnya. Toko-toko bakpia mulai bermunculan di daerah Tamansari. Bahkan, bagi warga asli Jogja, bakpia Tamansari lah yang dianggap sebagai bakpia khas Jogja.
Saya masih ingat, semasa bocah dulu, jika ingin membeli bakpia untuk camilan di rumah maupun untuk buah tangan kerabat jauh, kami akan membelinya di Tamansari. Hingga tahun 80-an masih terdapat beberapa toko kecil yang khusus menjual bakpia Tamansari dan makanan lain seperti geplak dan yangko. Toko-toko itu sekarang sudah banyak yang tutup atau menjelma menjadi kios kecil yang menjual aneka rupa kebutuhan sehari-hari. Toko bakpia Nitigurnito sendiri meskipun bangunannya masih tampak kokoh lengkap dengan papan namanya, namun juga jarang-jarang buka. Berkali-kali saya kecele setiap mau membeli bakpia legendaris itu, tokonya dalam keadaan tertutup.
Etos dagang orang Jawa memang tak seulet warga Tionghoa. Ketika industri bakpia Tamansari kian terpuruk, tak meninggalkan sisa, dan mulai dilupakan, bakpia Pathuk justru mencuat namanya dan menjadi ikon wisata kota Jogja. Tak banyak yang tahu bahwa di daerah Tamansari, di sebelah barat beteng kraton Yogya, juga pernah menjadi pusat bakpia Jogja.
No comments:
Post a Comment