Di samping papan nama bertuliskan "Lamin Adat Kampung Pepas Eheng" saya berdiri terpaku, menatap bangunan tinggi dan panjang yang terbuat dari kayu ulin. Rumah panjang suku Dayak Benuaq itu pernah saya tinggali selama sebulan pada tahun 1994. Saya masih ingat, kala itu, setiba di pelataran lamin yang luas, saya langsung melepas sepatu supaya telapak kaki saya menginjak tanah Dayak. Begitulah ekspresi kegirangan seorang mahasiswa Antropologi yang mengisi liburan semester dengan going tribe, melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur.
Sekilas tak banyak perubahan dari lamin itu. Atapnya masih sama, atap sirap yang terubuat dari kayu. Dinding-dindingnya memang tak lagi terbuat dari kulit kayu yang banyak celah, tapi sudah terbuat dari papan yang disusun rapat sehingga lebih hangat di malam hari. Tiang-tiang penyangganya masih berupa kayu ulin yang mulai lumutan, bukan diganti beton.
Di antara tiang-tiang penyangga itu, ada empat tangga yang digunakan untuk naik ke atas lamin. Tangga itu hanya terbuat dari sepotong kayu yang dibuat ceruk-ceruk anak tangga. Diameter kayunya mungkin hanya sekitar 15 cm. Saya masih ingat bagaimana takutnya ketika pertama kali naik dan turun tangga itu. Sampai di tengah-tengah kaki saya gemetaran, nggak berani meneruskan langkah ke atas. Mana sudah begitu tidak ada kayu yang digunakan untuk berpegangan.
Tangga-tangga itu masih sama. Hanya di kanan kirinya kini sudah dipasangi kayu yang dapat digunakan untuk berpegangan. Bahakan, tangga yang terdapat di tengah lamin, dibuat lebih lebar sehingga mudah ditapaki. Juga di bagian atasnya dibuatkan semacam kanopi, sehingga sepintas terkesan sebagai tangga utama menuju lamin. Sepertinya tangga ini dibuat untuk kenyaman wisatawan yang ingin naik ke lamin.
Hari ini saya seperti menjadi wisatawan yang menggendong ransel. Saya pilih tangga utama itu untuk naik ke lamin. Alasannya sederhana, saya kawatir sudah kembali takut naik tangga seperti saat pertama melakukannya 14 tahun lalu. Jangan-jangan saya sudah lupa gimana triknya supaya nggak terpeleset. Mana sekarang badan saya sudah gendut begini, 20 kg lebih berat daripada 14 tahun lalu itu. Alasan ke dua, saya kurang yakin apakah tangga yang terletak paling kiri itu masih milik keluarga Pak Jerma, ayah angkat saya?
Dulu keluarga Pak Jerma menempati bilik di bagian hulu lamin, yaitu bilik paling kiri jika dilihat dari arah saya berdiri menghadap lamin saat ini. Jika ada penghuni baru yang ingin tinggal di lamin, mereka boleh membangun bilik baru dengan cara menambahkannya bangunan di salah satu ujungnya, di kanan atau di kiri. Karenanya, saya menjadi ragu-ragu, apakah bilik di bagian ujung kiri lamin itu masih ditempati keluarga Pak Jerma atau jangan-jangan sudah ditempati keluarga lain.
Sesaat kemudian saya sudah sampai di atas tangga. Lalu saya langkahkan kaki memasuki pintunya yang kecil dengan sedikit membungkuk. Pintu ini hanya setinggi tak lebih dari satu setengah meter, sehingg orang dewasa yang melewatinya biasanya perlu sedikit membungkukkan badan.
Suasana lamin sangat lengang. Di ujung sana, ke arah saya berjalan menuju bilik keluarga Pak Jerma, saya hanya melihat seorang lelaki yang tengah menganyam rotan. Siapakah dia, saya tak mengenali wajahnya. Semakin mendekat, semakin saya tak mengenalinya. Berarti mungkin benar, bilik ini sudah buka lagi ditempati keluarga Pak Jerma. Lalu, saya beranikan diri untuk bertanya padanya, "Selamat pagi, Pak. Bisakah saya bertemu dengan Pak Jerma?" Lelaki itu segera menujuk ke arah seseorang yang tengah berbaring tak jauh darinya, "itu Pak Jerma," katanya membuat saya girang.
Segera saya dekati Pak Jerma, ayah angkat saya, yang lantas terjaga begitu mendengar ada yang menanyakannya. Saya tersenyum merasa mengenali wajahnya, sementara Pak Jerma menatap saya dengan ragu. "Bapak tidak kenal saya ya?" Tanya saya. "Saya Tita, dari Jogja," tambah saya lagi ketika menyadari bahwa lelaki tertua di Kampung Pepas Eheng itu tampak tidak mengenali saya lagi.
Pak Jerma masih menatapi saya, menyelidik. Atau mungkin tak percaya. Sebab Tita yang dikenalnya 14 tahun bertubuh kurus, berambut gondrong, dan berkacama besar. Saya mengangguk, mencoba meyakinkan bahwa saya memang Tita yang pernah sebulan tinggal di biliknya. "Kamukah anakku?" kata-kata itu keluar dari bibir tuanya yang menyentung relung emosi saya. Ternyata saya masih dianggapnya sebagai anak. Ah, saya jadi terkenang ritus pengangkatan anak 14 tahun lalu itu.
"Yang lain pada kemana Pak?" tanya saya kemudian, ketika menyadari hanya ada Pak Jerma dan lelaki itu di lamin ini. "Lagi di rumah Linus, ada beliatn," jawabnya.
Saya terbelalak. Masih ada beliatn rupanya. Pantas saja tadi di pelataran lamin saya sempat mendengar sayup-sayup bunyi tetabuhan khas beliatn. Saya sangat mengenali tetabuhan itu karena dulu selama sebulan tinggal di lamin, hampir setiap malam digelar beliatn, ritus pengobatan tradisional. Dulu saat kami tiba di lamin, juga tengah berlangsung upacara beliatn sentiu, upacara beliatn terbesar, yang membuat saya nggak bisa tidur pada malam-malam pertama karena upacara berlangsung hingga tengah malam, selama 4 hari berturut-turut.
Jadi, masih ada beliatn di sini, di saat jalur transportasi ke rumah sakit kota hanya ditempuh dalam waktu 30 menit?
-Mengenang Pak Jerma yang sudah berpulang pada bulan Agustus 2010 lalu-
how r u dear tita? remember me?
ReplyDeleteur great writter blog now?.....
[salam..rohadi sitepu]