cokelat Ratu Victoria dari London |
Rasa-rasanya saya belum pernah bertemu orang yang nggak doyan coklat. Yang ada kebalikannya. Kebanyakan orang sangat doyan coklat, apalagi jika ada yang ngasih saat hari Valentine atau oleh-oleh dari traveling.
Saya jadi ingat kisah lenyapnya beberapa keping coklat yang bikin heboh teman-teman sekantor. Kepingan coklat bergambar Ratu Victoria dengan diameter 12 cm itu adalah sebagian dari oleh-oleh yang saya bawa dari London (2007). Saya membelinya di National Portrait Gallery, London. Harga per keping sekitar 4 pounds dengan kurs rupiah pada saat itu Rp 18.500,-.
Ada 12 keping yang saya bagikan pada mereka, 11 keping untuk teman-teman di kantor dan 1 keping untuk penjaga malam. Kepingan cokelat itu tersimpan manis di kulkas sepanjang hari supaya nggak lembek kena hawa tropis. Sore, ketika pulang, mereka mengambilnya.
Sore itu saya melihat masih tersisa 5 keping tersimpan di kulkas (saya selalu pulang paling bontot). Ketika penjaga malam datang, saya memberitahunya untuk mengambil sekeping cokelat di kulkas. Artinya masih ada 4 keping milik teman-teman yang sengaja ditinggal di kulkas kantor.
Dua hari kemudian, pada suatu siang, seorang kawan yang akan mengambil 1 keping cokelat yang disimpannya di kulkas, tiba-tiba berteriak, "Cokelatnya tinggal dua!" Teriakan itu langsung disambut histeris oleh rekan-rekan lain yang merasa masih menyimpan cokelatnya dalam kulkas. Lah, kalau yang satu milik dia, berarti tinggal 1 yg di kulkas dong. Padahl masih 4 orang yang belum mengambilnya. Keriuhan pun segera mengisi seluruh ruang di kantor kami yang cuma berisi 12 orang (termasuk saya).
"HHoooaaa..wis dieman-eman malah iiillannggg..."
"Aku dah terlanjur pamer ke temen-temen kost kalau dapat coklat dari enggres. Belum sempat makan malah ilangg..."
Sekeping cokelat yang tersisa itu kemudian dibagi rame-rame. "Enak yaa..pantesan pada pengin nambah..."
***
Cokelat memang nikmat. Makanan yang diolah dari biji kokoa (Theobroma Cacao) ini sudah dikonsumsi bangsa Maya di Amerika Selatan sejak 300 M. Dari catatan sejarah ditemukan bahwa orang Maya mengolah biji cokelat menjadi minuman. Konon, minuman cokelat merupakan simbol kemakmuran dan kesuburan di kalangan bangsa Maya. Ketika bangsa Maya runtuh, biji cokelat masih dikonsumsi. Bahkan ketika Kerajaan Aztec memimpin pada tahun 1500-an, biji kokoa dianggap sebagai "makanan para dewa" dan digunakan untuk upacara keagamaan dan hadiah istimewa.
Biji kokoa yang menghasilkan minuman lezat ini mulai dikenalkan di Eropa oleh bangsa Spanyol yang menguasai Amerika Selatan pada sekitar abad 15. Dari Spanyol, kenikmatan minuman cokelat ini menyebar ke Inggris, Belgia, Switzerland, dan negara-negara Eropa lainnya. Di tangan orang Belgia dan Switzerland, biji cokelat yang semula hanya diolah menjadi minuman, diolah menjadi makanan padat yang super nikmat. Hingga kini Belgia dan Switzerland dikenal sebagai negara penghasil coklat terlezat di dunia!
Oh iya, cokelat Ratu Victoria yang saya beli di London itu juga Made in Belgium.
Di Jogja, juga ada cokelat yang sering dijadikan "oleh-oleh khas Jogja" namun hasil kreasi orang Belgia. Namanya Chocolate Monggo. Cokelat batangan ini dikemas dengan kertas warna coklat (kertas samson), memberi kesan klasik yang Jogja banget. Ada juga cokelat yang dikemasan dalam box khusus untuk suvenir bergambar Becak, Semar, dan Candi Borobudur.
Untuk memperkuat cita rasa Jawa, cokelat Monggo juga memproduksi cokelat dengan aneka rasa seperti ginger (jahe) dan red chili alias lombok abang yang pedes. "Hot, hot, hot! This is a real taste of Indonesian! No one has ever dared to do this before. Monggo did it!" Demikian woro-woro yang ditulis Monggo untuk memperkenalkan produk terbarunya. Bikin saya tergoda untuk mencicipi saat singgah ke workshop Monggo di Kotagede. Rasanya unik, manis coklat berpadu dengan pedas yang semriwing. Dua kali saya ambil potongan tester yang disediakan untuk mengecap rasa dan memastikan apakah saya akan membeli produk terbaru ini atau memilih yang klasik, dark chocolate. Ternyata, lidah saya masih sama, lebih suka dark chocolate ketimbang cokelat rasa akultusari ini.
Setelah Chocolate Monggo menjadi alternatif oleh-oleh dari Jogja, belum lama ini muncul cokelat yang menyebut dirinya "Taste of Jogja", yaitu Cokelat Roso. Teman-teman saya menyebutnya sebagai cokelat jamu karena Cokelat Roso mengeluarkan produk Cokelat Roso Jejamuan dengan tiga pilihan rasa Gula Asem, Kunyit, dan Beras Kencur. Rasanya kayak apa ya? Terus terang saya belum mencicipinya....
Belum sempat mencicip semua cokelat Made in Jogja, eh lha kok sudah nemu Choco.Dol, cokelat dodol buatan Garut. Beberapa waktu lalu, saat menunggu boarding time di SHIA (Soekarno Hatta International Airport, keren ya namanya!) saya mampir beli minuman kotak di gerai Keris Gallery. Ini kebiasaan rutin yang saya lakukan jika saya terbang dengan pesawat tanpa snack dan minuman. Buat jaga-jaga kalau pesawat delay, supaya nggak kelaparan di ruang tunggu, biasanya saya beli cokelat Beng-beng dan minuman kotak.
Saat mau mengambil Beng-beng itulah tanpa sengaja mata saya menemukan Choco.Dol Picnic. Reflek tangan saya meraihnya karena penasaran. Saya sudah mengenal brand dodol Garut Picnic sejak kanak-kanak. Jika berlibur ke Jakarta naik kereta api, kami sering membeli dodol Picnic yang dikemas dalam box warna merah jambu ini di stasiun.
Rupanya Choco.Dol Picnic memiliki banyak varian rasa. Ada rasa duren, wijen, jahe madu, pandan, juga kurma. Saya jadi bingung pilih yang mana. Setelah menimang-nimang, saya pun memilih rasa klasik, rasa susu. Setelah membayar di kasir, Choco.Dol itu langsung masuk ke tas sampai beberapa hari kemudian saya baru teringat punya cokelat hasil akulturasi antara negeri Barat dengan Jawa Barat ini.
"Lho, kok cokelat ini nggak lembek ya?" bathin saya heran ketika menemukan Choco.Dol dari dalam tas. Padahal sudah lebih dari tiga hari ia tergeletak di dalam tas. Bahkan sudah tertindih beberapa buku dan agenda. Cokelat batangan lain biasanya langsung berubah bentuk jika nggak buru-buru dimasukin ke dalam kulkas. Choco.Dol ini aneh. Saya masih terheran-heran sambil membuka kertas pembungkusnya untuk segera mencicipi. Saya patahkan sebatang lalu segera saya masukkan ke mulut. Mmmmhhh...aha..! Saya pun tersadar. Choco.Dol ini rupanya ya tetep dodol..tapi rasa cokelat susu. Pantesan nggak lembek, karena bahan dasarnya sama dengan dodol yang kenyal itu.
Saya pun terbahak sambil mengunyahnya.
Cokelat memang nikmat. Makanan yang diolah dari biji kokoa (Theobroma Cacao) ini sudah dikonsumsi bangsa Maya di Amerika Selatan sejak 300 M. Dari catatan sejarah ditemukan bahwa orang Maya mengolah biji cokelat menjadi minuman. Konon, minuman cokelat merupakan simbol kemakmuran dan kesuburan di kalangan bangsa Maya. Ketika bangsa Maya runtuh, biji cokelat masih dikonsumsi. Bahkan ketika Kerajaan Aztec memimpin pada tahun 1500-an, biji kokoa dianggap sebagai "makanan para dewa" dan digunakan untuk upacara keagamaan dan hadiah istimewa.
Biji kokoa yang menghasilkan minuman lezat ini mulai dikenalkan di Eropa oleh bangsa Spanyol yang menguasai Amerika Selatan pada sekitar abad 15. Dari Spanyol, kenikmatan minuman cokelat ini menyebar ke Inggris, Belgia, Switzerland, dan negara-negara Eropa lainnya. Di tangan orang Belgia dan Switzerland, biji cokelat yang semula hanya diolah menjadi minuman, diolah menjadi makanan padat yang super nikmat. Hingga kini Belgia dan Switzerland dikenal sebagai negara penghasil coklat terlezat di dunia!
Oh iya, cokelat Ratu Victoria yang saya beli di London itu juga Made in Belgium.
Di Jogja, juga ada cokelat yang sering dijadikan "oleh-oleh khas Jogja" namun hasil kreasi orang Belgia. Namanya Chocolate Monggo. Cokelat batangan ini dikemas dengan kertas warna coklat (kertas samson), memberi kesan klasik yang Jogja banget. Ada juga cokelat yang dikemasan dalam box khusus untuk suvenir bergambar Becak, Semar, dan Candi Borobudur.
Untuk memperkuat cita rasa Jawa, cokelat Monggo juga memproduksi cokelat dengan aneka rasa seperti ginger (jahe) dan red chili alias lombok abang yang pedes. "Hot, hot, hot! This is a real taste of Indonesian! No one has ever dared to do this before. Monggo did it!" Demikian woro-woro yang ditulis Monggo untuk memperkenalkan produk terbarunya. Bikin saya tergoda untuk mencicipi saat singgah ke workshop Monggo di Kotagede. Rasanya unik, manis coklat berpadu dengan pedas yang semriwing. Dua kali saya ambil potongan tester yang disediakan untuk mengecap rasa dan memastikan apakah saya akan membeli produk terbaru ini atau memilih yang klasik, dark chocolate. Ternyata, lidah saya masih sama, lebih suka dark chocolate ketimbang cokelat rasa akultusari ini.
Setelah Chocolate Monggo menjadi alternatif oleh-oleh dari Jogja, belum lama ini muncul cokelat yang menyebut dirinya "Taste of Jogja", yaitu Cokelat Roso. Teman-teman saya menyebutnya sebagai cokelat jamu karena Cokelat Roso mengeluarkan produk Cokelat Roso Jejamuan dengan tiga pilihan rasa Gula Asem, Kunyit, dan Beras Kencur. Rasanya kayak apa ya? Terus terang saya belum mencicipinya....
Belum sempat mencicip semua cokelat Made in Jogja, eh lha kok sudah nemu Choco.Dol, cokelat dodol buatan Garut. Beberapa waktu lalu, saat menunggu boarding time di SHIA (Soekarno Hatta International Airport, keren ya namanya!) saya mampir beli minuman kotak di gerai Keris Gallery. Ini kebiasaan rutin yang saya lakukan jika saya terbang dengan pesawat tanpa snack dan minuman. Buat jaga-jaga kalau pesawat delay, supaya nggak kelaparan di ruang tunggu, biasanya saya beli cokelat Beng-beng dan minuman kotak.
Saat mau mengambil Beng-beng itulah tanpa sengaja mata saya menemukan Choco.Dol Picnic. Reflek tangan saya meraihnya karena penasaran. Saya sudah mengenal brand dodol Garut Picnic sejak kanak-kanak. Jika berlibur ke Jakarta naik kereta api, kami sering membeli dodol Picnic yang dikemas dalam box warna merah jambu ini di stasiun.
Rupanya Choco.Dol Picnic memiliki banyak varian rasa. Ada rasa duren, wijen, jahe madu, pandan, juga kurma. Saya jadi bingung pilih yang mana. Setelah menimang-nimang, saya pun memilih rasa klasik, rasa susu. Setelah membayar di kasir, Choco.Dol itu langsung masuk ke tas sampai beberapa hari kemudian saya baru teringat punya cokelat hasil akulturasi antara negeri Barat dengan Jawa Barat ini.
"Lho, kok cokelat ini nggak lembek ya?" bathin saya heran ketika menemukan Choco.Dol dari dalam tas. Padahal sudah lebih dari tiga hari ia tergeletak di dalam tas. Bahkan sudah tertindih beberapa buku dan agenda. Cokelat batangan lain biasanya langsung berubah bentuk jika nggak buru-buru dimasukin ke dalam kulkas. Choco.Dol ini aneh. Saya masih terheran-heran sambil membuka kertas pembungkusnya untuk segera mencicipi. Saya patahkan sebatang lalu segera saya masukkan ke mulut. Mmmmhhh...aha..! Saya pun tersadar. Choco.Dol ini rupanya ya tetep dodol..tapi rasa cokelat susu. Pantesan nggak lembek, karena bahan dasarnya sama dengan dodol yang kenyal itu.
Saya pun terbahak sambil mengunyahnya.
No comments:
Post a Comment