Wednesday, May 26, 2010
welcome on board (JOG -> CGK -> DXB -> CDG)
Tepat pukul 00.50 WIB, pesawat Emirates EK 359 mulai bergerak menyusur landasan pacu bandara international Soekarno Hatta, siap terbang menuju Charles De Gaulle Airport (Paris) via Dubai. Di kursi nomor 19H saya duduk merebahkan tubuh gendut saya sambil mengatur sisa-sisa energi yang tersisa.
Dini hari itu, Rabo 5 Mei 2010 terasa sungguh melelahkan. Sejak dua hari menjelang keberangkatan ke Paris, emosi dan energi saya rasanya terkuras habis-habisan. Mula-mula emosi saya teraduk-aduk oleh lamanya pengurusan Visa Schengen. Visa saya dijadwalkan selesai pada tanggal 3 Mei 2010, sehari sebelum saya berangkat ke Jakarta, transit, lalu malamnya dilanjut dengan penerbangan ke Paris. Pada hari yang dijadwalkan itu, saya gelisah menunggu pukul 12.00 – 13.00 WIB yang merupakan jadwal pengambilan Visa di Kedutaan Perancis. Harap-harap cemas saya menanti kabar dari relasi di Jakarta yang siang itu membantu mengambilkan Visa. Lewat beberapa menit dari jadwal pengambilan visa, sebuah SMS singgah di ponsel saya, “Visa belum jadi. Besok disuruh balik lagi…” Whatz…?! Seketika saya langsung diliputi rasa cemas. Jadi berangkat nggak sih?
Sehari sebelum keberangkatan yang mustinya menjadi hari terakhir packing itu justru membuat saya malas-malasan mengemas backpack. Iya kalau besok visanya di-approved, kalau tidak bagaimana dong? Padahal, besok sore (4 Mei 2010) saya sudah punya tiket Garuda yang siap menerbangkan saya dari Jogja ke Jakarta pada pukul 18.30 WIB. Meski begitu toh tetep harus packing juga. Mendingan menyiapkan segala sesuatunya sehingga begitu mendapat approval sudah siap menggendong ransel.
Selepas petang saya menyuplai energi untuk packing dengan makan bakmi goreng kesukaan saya. Anehnya, tak berapa lama setelah perut saya dikenyangkan oleh sepiring bakmi Jawa itu, saya malah merasa mual dan lemas. Lalu berbaring-baringlah saya di kasur mengistirahatkan tubuh sambil membatin, “masih ada hari esok untuk packing kok, kan bawaan saya tidak banyak”. Saya pun ketiduran dan terjaga di tengah malam oleh serangan kontraksi dari dalam perut: semua isinya minta dikeluarkan! Muntah, diare, dan keringat dingin mengucur. Sepanjang malam itu entah berapa kali saya terhuyung-huyung berjalan dari tempat tidur ke toilet.
Esoknya saya baru bisa beranjak dari tempat tidur sekitar pukul 11 siang. Keluar dari kamar saya melihat backpack yang masih terkulai di lantai bersisian dengan beberapa lembar pakaian yang belum sempat di-packing. Ada sisa waktu berapa jam kah untuk mempacking barang-barang ini?
Setelah minum beberapa butir norit untuk menetralkan racun dalam perut, saya menyegarkan diri dengan mandi. Habis mandi dan minum teh manis pasti akan kembali bergairah untuk mempacking ransel. Saat bersiap mandi saya dikejutkan dengan noda darah yang sudah biasa saya lihat setiap bulan. Aaarrrggghhh…kenapa juga ‘dia’ datang di saat lagi berantakan begini? Duh Gusti, paringana kuat…! Semoga nggak pake kejang perut dan pingsan, doa saya. Memang sih, saya sudah jarang-jarang kejang perut saat datang bulan seperti waktu remaja dulu. Tapi, meski nggak separah masa umur under 30, yang namanya datang bulan tetep saja bikin bad mood dan males ngapa-ngapain. Penginnya cuma berbaring-baring nonton channel HBO sambil makan buah segar.
Tapi siang ini saya harus tetep packing, sekalipun masih lunglai karena terkuras akibat keracunan bakmi goreng ditambah mules-mules saat hari pertama datang bulan. Keep in fight, Tita! Saya menyemangati diri sendiri sambil mulai memasukkan pakaian ke dalam ransel.
Di sela-sela packing, ponsel saya menyuarakan dering SMS. “Visa belum jadi. Nanti jam 4 disuruh balik lagi..” HHAAAHH..?! Saya tersentak dan berhenti membaca SMS yang dikirim relasi saya pada tengah hari menjelang jam satu siang. Lalu saya makin terkejut ketika membaca kalimat selanjutnya. Ternyata visa relasi saya yang lain nggak di-approved!
Oh God! Seketika saya lunglai lahir bathin. Sudah badan lagi lemes begini, eh kok ya emosi juga ikut-ikutan diguncang dengan kabar tak menggembirakan. “Trus, kamu berangkat sama siapa?” Tanya Edo ketika saya menyampaikan berita itu. “Ya gimana lagi, terpaksa sendiri…” jawab saya lemas. Bukan berarti saya tak berani jalan sendiri ke Eropa. Bukan itu masalahnya, saya kan sudah biasa ber-solo traveling. Tapi sebagai teman yang sudah merencanakan perjalanan barengan, membooking tiket Emirates secara online bareng-bareng sambil YM!-an, masukin berkas visa di Kedutaan Perancis juga barengan, juga sudah janjian ketemu di Roma, bahkan saya berhasil menghasutnya untuk ikutan bareng sampe Athena karena semula dia berencana kembali ke Paris, saya sungguh prihatin mendengar kabar duka itu.
Pesawat sudah tinggal landas. Lampu tanda sabuk pengaman juga sudah dimatikan. Sebentar lagi pramugari akan membagikan minuman segar dan santapan nikmat. Di kursi nomor 19H saya luruskan punggung sambil menarik napas dalam-dalam.
The business trip must go on, seru saya dalam hati.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment