Wednesday, March 3, 2010
next trip: europe..(part 1)
Kehadiran Baby Bindi akhir Oktober 2009 lalu, memang membuat saya harus berjuang menahan hasrat melakukan perjalanan alias traveling. Bahkan tiket return ke India dan Laos yang sudah saya kantongi sejak jauh-jauh bulan sebelum kehadirannya pun terpaksa saya relakan demi hari-hari bersama Bindi.
Terkecuali jika perjalanan itu dalam rangka urusan pekerjaan atau bisnis. Meski berat, business trip tetap saya prioritaskan. Bukan kenapa-napa, saya kan bukan orang kantoran yang setiap bulan selalu mendapatkan gaji. Sebaliknya, saya harus berjuang supaya temen-temen di perusahaan saya bisa gajian tiap bulan. Jangan heran jika Bindi sudah biasa saya tinggal jalan sejak usianya 15 hari!
Nah, good news-nya, tahun 2010 ini saya mendapat kesempatan business trip ke Eropa. Eits, tapi jangan keburu menganggap saya sebagai konglomerat ya. Bisnis saya masih kecil-kecilan, hanya mengandalkan kerja kreatif otak kanan, alias tidak mengandalkan modal finansial melulu. Dengan kata lain, biar modal dengkul asal kreatif, pasti bisa jalan-jalan keliling dunia. Tul kan?
Negara pertama yang akan kami jajaki adalah Perancis, Paris.
Buat saya, business trip ke Paris bulan Mei 2010 nanti nggak sekedar urusan bisnis, tetapi yang nggak kalah penting adalah trip-nya. Malah, saya lebih bergairah ketika menyusun itinerary alias trip ke mana aja selama di Paris dan Eropa nanti. Tahu nggak, agenda bisnisnya sih cuma 3-4 hari, tapi extend-nya 10 hari! Dasar, nggak mau rugi!
Masih ada waktu dua bulan untuk menyiapkan business & trip ke Eropa nanti. Persiapan bisnis nggak perlu dibahas di sini dong. Lagian lebih asyik menyiapkan itinerary untuk mengeksplorasi Paris dan negara-negara lain di sekitarnya kan?
Berikut persipan yang saya lakukan:
Yang pertama, diam-diam saya sudah membeli buku Lonely Planet edisi Western Europe di Kinokuniya, Jakarta. Harganya memang mahal, Rp 372.000,-. Tapi karena saya merasa lebih nyaman dan aman jika menenteng kitab suci para pejalan ini, saya pun merelakan rupiah tersebut.
Lonely Planet juga sangat membantu saya dalam menyusun itinerary. Karenanya, saya merasa perlu membelinya jauh-jauh hari sebelum berangkat. Dua bulan cukup untuk mempelajari isinya, menyusun trip yang kemungkinan akan saya lalui, mempelajari jalur transportasi (kereta dan low cost airline), juga museum dan situs-situs heritage yang bakal saya kunjungi. (Gila, Eropa tuh gudangnya bangunan heritage yang terdaftar di UNESCO World Heritage List. Sampai bingung saya menyusun prioritas mana yang worthed buat saya).
Dengan mempelajari Lonely Planet, ternyata juga memudahkan saya bernegoisasi dengan Edo yang terpaksa menjadi suami siaga bagi Baby Bindi.
Saat saya ke Eropa bulan Mei nanti, Baby Bindi baru berusia 6 bulan. Kebayang kan repotnya Edo di malam hari dan pagi hari sebelum dia berangkat kerja. (Siang hari Bindi diasuh Mbok Nem dan karena dia cute banget, banyak tetangga yang berbaik hati nemenin main. Jadi Mbok Nem juga bisa ngerjain kerjaan rumah lainnya).
"Jadi kamu mau pergi berapa lama nanti?" tanya Edo tanpa senyum. "Totalnya dua minggu, sekalian perjalanan pulang balik," jawab saya sambil menahan deg-deg-an. "Sepuluh hari aja lah," Edo menego. Saya melotot. "Lah, urusan kerjaan aja mungkin bisa 5-6 hari baru bisa terbebas. Buat perjalanan udah 2 hari. Dua hari sisanya mana cukup buat menikmati Eropa?"
Lalu, saya mengambil Lonely Planet, mengharap pertolongan dari kitab suci pejalan itu. Saya jelaskan rute perjalanan yang pengin saya tempuh setelah urusan di Paris beres. "Ingat lho, sekarang saya sudah bukan traveler biasa. Tapi seorang travel writer, yang butuh data untuk ditulis dan diterbitkan menjadi buku lagi...," tambah saya mencoba meyakinkannya bahwa saya pergi bukan semata-mata dolan. Tentu saja sambil membeberkan target tulisan yang harus saya setor ke penerbit setelah pulang backpacking ke Eropa.
Sebenarnya juga, Edo sangat paham. Bukankah sejak kuliah, sejak pacaran dulu saya sudah terbiasa jalan? Dan setelah merintis bisnis sendiri, jadi makin banyak jalan karena banyak job di luar Jogja.
Masalahnya, karena sekarang kami punya momongan. Butuh perjuangan dan doa untuk mengasuh Bindi selagi ibunya business trip. Meskipun Edo sudah jago mengganti popok, menceboki ketika Bindi pup, mengajak jalan-jalan tiap pagi, dan menggendong dengan posisi nyaman sehingga Bindi bisa tertidur di lengannya...tapi sejago-jagonya ayah, tetep lebih asyik kalo didampingi ibunya kan?
Cukup lama kami membicarakan soal pengasuhan Bindi selama saya pergi nanti. Hingga hari ini, kami masih membicarakan berbagai kemungkinannya. Dan saya belum mem-booking tiket, sengaja mengulurnya, supaya segala sesuatunya fix duluan...(to be continued: plan a trip)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment