Wednesday, April 22, 2009
lorong dan dinding-dinding
“Bhaktapur yang saya lihat hari ini, nggak berbeda dengan 25 tahun lalu ketika saya pertama kali ke Nepal. Hanya sedikit saja berubah,” ujar Tom, bule asal Kanada, teman ngobrol saya sewaktu nonton festival menjelang Nepali New Year di Nyatapola Temple, Bhaktapur. Saya rasa Tom nggak bohong. Soalnya Bhaktapur merupakan kawasan yang dilindungi, yang masuk dalam UNESCO’s World Heritage List.
Di Lembah Kathmandu, Nepal, ada 7 kawasan yang masuk dalam daftar World Heritage, yaitu Durbar Square di Kathmandu, Patan, dan Bhaktapur, Stupa Buddha di Swayambunath dan Boudnath, dan Candi Hindu di Pashupatinath dan Changu Narayan.
Buat saya Bhaktapur yang paling mengesan. Selain karena tatanan kotanya masih utuh, saya juga punya kesempatan lebih lama mengeksplornya. Nggak sekedar singgah kayak turis, tapi saya tinggal di sana selama beberapa hari. Beruntunglah saya karena mendapat tumpangan tidur di rumah tradisional milik keluarga teman yang saya kenal lewat internet, yang kebetulan juga berada di kompleks heritage itu.
Bhaktapur yang dijuluki City of Devotees merupakan ibukota Lembah Kathmandu pada abad ke 14 hingga 16. Pada saat King Bhupatindra Malla memerintah, Beliau mendirikan bangunan-bangunan megah di kawasan Bhaktapur hingga abad ke-17. Sisa-sisa kemegahan itu tetap terjaga hingga kini, antara lain kompleks Royal palce dengan Durbar Square-nya yang bersisian dengan Taumadhi Square dan Nyatapola Temple. Memang sih, sejumlah restoran dan hotel kini juga bermunculan di kompleks heritage itu, termasuk para warganya yang mencoba mencari nafkah dengan membuka kios cinderamata. Tapi sepertinya kedua kepentingan antara kapitalisme tourisme dan menjaga warisan budaya itu berupaya untuk tampil harmonis dengan mengindahkan arsitektur lokal.
Untuk memasuki kompleks kota lama Bhaktapur, wisawatan asing diwajibkan membeli ticket pass sebesar US$ 10 yang berlaku untuk seminggu. Sebagai wisatawan yang menghargai warisan leluhur dan menyadari bahwa dana pelestarian bangunan bersejarah itu membutuhkan banyak dana, saya dengan penuh kesadaran membayar harga tiket yang sudah ditetapkan. Padahal kesempatan untuk curang sebenarnya terbuka lebar, karena pintu-pintu gerbang untuk memasuki kawasan Bhaktapur ini nggak terlalu ketat dijaga, penjaga loket hanya berjaga pada jam kerja. Sementara gerbang memasuki kawasan ini nggak ada pintunya yang bisa ditutup, sehingga pagi-pagi atau malam hari orang bisa leluasa masuk kawasan ini. Atau menyusur lorong-lorong kecil yang nggak berloket.
Memasuki gerbang kota tua Bhaktapur mengingatkan saya pada kawasan Jeron Beteng kraton Yogyakarta, tempat tinggal saya. Kawasan yang dibentengi tembok kraton itu bisa dimasuki lewat 5 plengkung, yaitu lewat Plengkung Ngasem, Plengkung Wijilan, Plengkung Panembahan, Plengkung Tamansari, dan Plengkung Gading. Di Bhaktapur, wisatawan biasanya masuk lewat Old Town Entrance Gate yang langsung disambut dengan keindahan arsitektur Royal Palace dengan 55 Windows-nya yang penuh ukiran serta Durbar Square, semacam alun-alun atau ruang public terbuka yang berlantai susunan bata merah.
Di Royal Palace itu terdapat Royal Bath alias tempat mandi Raja yang mengingatkan saya pada Tamansari Water Castle yang terletak nggak jauh dari rumah saya di Jogja. Bentuknya seperti kolam yang airnya menyembur dari mulut naga sementara badan naga mengelilingi tepian kolam. Tapi Royal Bath ini cuma terdiri dari satu kolam karena khusus digunakan sebagai tempat mandi King Malla. Kalau di Tamansari ada 3 kolam, 2 kolam untuk mandi para selir serta 1 kolam yang letaknya terpisah untuk mandi Raja dan selir yang lagi dapat giliran mandi bareng. Hehe…
Beberapa hari tinggal di Bhaktapur membuat saya jadi mengkomparasi dengan rumah joglo kami di Jeron Beteng yang berjarak hanya 200 meter dari Tamansari, 50 meter dari Regol Kemagangan (bagian belakang kraton), atau sekitar 400 meter dari Alun-alun Selatan dan Alun-alun Utara yang langsung menghubungkan Pagelaran Kraton Ngayogyakarta. Di Bhaktapur, di rumah Sadan Krishna tempat tumpangan saya, juga nggak jauh dari Royal Palace dan Durbar Square. Menurut peta Lonely Planet yang saya lihat, jaraknya sekitar 400 meteran. Kalau jalan kaki juga nggak nyampai 10 menit kok.
Sayangnya kawasan Jeron Beteng itu nggak masuk dalam daftar UNESCO World Heritage. Sudah terlalu banyak penghuni yang berjubal dan membangun rumah sesukanya di kawasan Sultan Ground. Mumpung gratis!
Selain mengingatkan saya pada Jeron Beteng, setiap kali menyusuri lorong yang membelah rumah-rumah berdinding bata merah di Bhaktapur, ingatan saya langsung melayang ke Kotagede, bekas wilayah kerajaan Mataram (Panembahan Senopati) yang terletak di bagian Timur Kota Yogyakarta.
Kotagede dan Bhaktapur sama-sama memiliki lorong-lorong panjang yang sempit diapit dengan dinding-dinding rumah tak berhalaman yang merapat pada jalan. Dinding-dinding bangunan rumah di Bhaktapur adalah tumpukan bata tak bersemen yang menjulang tinggi berbentuk persegi yang dilengkapi jendela berukiran indah. Sebuah pintu kecil dan pendek (watch your head!)terdapat pada bangunan bagian bawah. Hanya ada satu pintu untuk memasuki rumah bertingkat 3 – 4 lantai itu.
Pada bangunan bagian bawah itu biasanya digunakan untuk berbisnis, membuka kios yang menjual barang kebutuhan harian atau berdagang souvenir yang menggoda wisatawan. Mirip dengan suasana Kotagede sekitar tahun 80-an atau sewaktu saya masih bocah dulu. Sekarang orang-orang Kotagede yang berbisnis mulai membangun area parkir di depan kiosnya, sehingga bangunan kios sedikit lebih menjorok ke dalam, nggak rata dengan jalan.
Di antara dinding-dinding yang merapat dan menjulang tinggi itu biasanya ada sebuah celah, semacam terowongan selebar pintu yang tingginya hanya sekitar 160 cm sehingga jika melewatinya harus menundukkan kepala. Di sisi lain juga terdapat lorong yang menghubungkan dengan ruang public lain yang berbatas dinding, demikian seterusnya sambung-menyambung menjadi satu membentuk perkampungan besar.
Jika memasuki celah ini kita akan menemukan halaman luas, tempat anak-anak bermain dan ibu-ibu ngerumpi sembari merenda benang wol untuk dijadikan sweater penghangat. Public area berbentuk persegi yang dikelilingi dinding-dinding rumah suku Newari, penduduk asli Bhaktapur ini berfungsi semacam halaman rumah milik bersama. Kalau rumah orang Kotagede, halaman luas yang tersembunyi di balik dinding-dinding yang merapat jalan itu adalah milik perorangan, bukan milik bersama.
Di Bhaktapur, halaman bersama ini juga difungsikan sebagai tempat parkir motor bagi yang memiliki. Jumlahnya nggak banyak sih, hanya beberapa gelintir warga yang mampu membeli sepeda dan motor karena kondisi ekonomi mereka yang masih jauh di bawah pendapatan per kapita orang Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ini. Mobil pribadi nyaris nggak ada. Selama beberapa hari tinggal di Bhaktapur, mobil yang saya temukan hanya taxi yang mengangkut turis.
Sebagian besar warga di kota lama Bhaktapur mengandalkan kaki untuk berjalan menyusuri lorong-lorongnya. Setiap pagi berduyun-duyun orang mulai memadati jalanan, keluar dari rumah kotak bata merah yang sempit. Yang ibu-ibu melakukan puja atau sembahyang pagi ke pura yang terdapat hampir di tiap sudut jalan. Yang laki-laki bersosialisasi dengan warga lain sambil minum teh di warung-warung. Sementara yang berdagang sayur, ayam, maupun souvenir juga mulai menggelar dagangannya.
Tau nggak, karena jumlah pejalan kakinya jauh lebih banyak ketimbang yang naik sepeda dan motor, udara di kompleks kota lama Bhaktapur ini jadi lebih seger, bebas polusi asap. Dan yang lebih penting, biar jalan jauh nggak keringatan, soalnya hawa di daerang ketinggian 1.450 M dari permukaan laut ini cukup dingin, sekalipun saya ke sana saat musim summer. Saya jadi semangat jalan kaki nih. Selain menyehatkan, juga bisa lebih fleksibel menyusuri lorong-lorongnya dan menyapa anak-anak yang riang berlarian.
TIPS wisata World Heritage
1. Yang utama adalah menumbuhkan kesadaran ikut menjaga warisan budaya yang tak ternilai harganya itu. Jangan main corat-coret dan buang sampah sembarangan, apalagi merusak situs.
2. Tiket masuk kawasan World Heritage biasanya memang lebih mahal apalagi biasanya pakai tariff US$. Tapi duit itu belum seberapa dibanding dengan biaya pelestarian yang harus dikeluargan tiap tahun. Jadi, anggap aja sebagai sumbangan atas kepedulian kita akan cagar budaya.
3. Jangan beli barang antik secara illegal. Lebih baik melapor dulu ke balai Arkeologi setempat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment