Setiap negeri ini mengenang duka kerusuhan Mei 98, saya juga terkenang pada kegagalan saya menjadi salah satu bintang televisi. Duh, apolitis banget ya. Ketika semua orang berduka karena tewasnya sejumlah aktivis mahasiswa Trisakti (12 Mei 1998) yang merebak menjadi amuk massa yang menghanguskan kompleks pertokoan di Jakarta (13 – 15 Mei 1998), saya tengah bersiap menjadi bintang tamu dalam event memeriahkan Piala Dunia yang akan ditayangkan Indosiar!
Ketika itu saya masih menjabat sebagai GKR Humas (sahabat-sahabat saya menjulukinya seperti itu) alias public relations kaos oblong Dagadu Djokdja. Pekerjaan saya antara lain mengurusi kerjasama dengan berbagai pihak termasuk promosi. Karena Dagadu tengah merilis sejumlah disain baru bertema plesetan Piala Dunia ’98, saya mendapat undangan dari Indosiar yang kebetulan juga membuat tayangan untuk memeriahkan Piala Dunia.
Menurut skenario yang diberikan Indosiar, nanti akan ada petandingan bola “kecil-kecilan” antar klub yang ada di Jakarta. Salah satu kesebelasannya akan mengenakan kostum kaos plesetan Piala Dunia ala Dagadu Djokdja. Lalu saya akan diwawancarai Ricky Johanes tentang ide kreatif Dagadu melansir kaos plesetan tersebut. Waktu syuting disepakati tanggal 13 Mei 1998, sore hari di lapangan bola Senayan.
12 Mei 1998 saya berangkat ke Jakarta dengan kereta Dwipangga jam 22.00 WIB. Seharian itu sebenarnya saya cukup kalang kabut, karena 11 kaos untuk kostum yang harus saya bawa ke Jakarta belum selesai diproduksi. “Kalau malam ini nggak jadi, yaw is besok pagi berarti aku naik pesawat,” kata saya pada rekan di bagian produksi. Sekitar pukul 21.00 kaos edisi khusus mejeng di tivi itu akhirnya rampung juga. Saya nggak perlu menunda keberangkatan.
13 Mei, subuh, dari stasiun Gambir saya mbajaj ke Kramat Sentiong, ke sebuah rumah di gang sempit tempat saya pernah indekost di sana awal tahun 1997. Meski cuma 3 bulan menjadi anak kost di Jakarta karena waktu itu ngotot menjadi wartawan adalah karir saya, rumah di Kramat Sentiong kemudian menjadi singgahan favorit saya kalau di Jakarta. Perkampungan yang padat dan kumuh kan jarang-jarang saya temukan di Jogja. Jadi tinggal di rumah kost tersebut jauh lebih mengasyikkan ketimbang tinggal di kamar hotel.
Setelah leyeh-leyeh sambil bercengkerama dengan penghuni rumah yang sebagian besar orang Jogja, siang harinya saya meluncur ke Senayan dengan taksi. Ketika saya tiba di Senayan, sudah ada 2 kru kesebelasan yang siap berlaga. Juga kru Indosiar lengkap dengan perlatan syutingnya.
Tapi hingga jam 15.00 Ricky Jo, host acara ini tak kunjung datang. Ponselnya juga susah dihubungi. Kami menjadi gelisah. Apalagi bunyi sirine tedengar meraung-raung dan mobil-mobil tentara berseliweran melintas Senayan. Saat mengontak ke kantor Indosiar, kami mendapat kabar terjadi kerusuhan di seputar Daan Mogot. Ada aksi baker-bakaran dan jalanan tertutup karena di sejumlah perempatan jalan juga ada aksi bakar ban mobil. Dari mereka pula kami mendengar kabar bahwa akses dari bandara ke Jakarta sudah terblokir. Bnayak pesawat delay dan banyak penumpang terjebak karena nggak bisa kembali ke Jakarta. (Thank God, untung saya nggak jadi naik pesawat).
Berita lewat telepon itu membuat kami yang di lapangan kalut. Ketika hari mulau gelap, akhirnya kami diminta pulang dan menunggu kabar dari Indosiar kapan diadakan pengambilan gambarnya. “Moga-moga bisa kita lanjutkan besok sore,” kata salah satu kru yang mobilnya saya tumpangi hingga Plaza Senayan.
Maksud hati pengin menghibur diri denga masuk mall. Tapi begitu turun dari mobil dan mendapati pintu mall yang tertutup rapat dan gelap, saya jadi bingung. “Ada kerusuhan Mbak,” jelas Pak Satpam. Separah apa sih kerusuhannya sampai mall ini harus ditutup? Pak Satpam tak bisa mejelaskan. Dia hanya bisa menceritakan bahwa semua karyawan sudah dipulangkan sejak sore tadi. Pantesan sepi banget. Mana nggak ada taksi satu pun di parkiran. Terpaksalah saya berjalan kaki ke Sudirman, mencari halte untuk menunggu bus arah Thamrin. Lama menunggu, nggak ada yang lewat, membuat orang-orang yang di halte semakin gelisah. Sebagian dari mereka memutuskan untuk berjalan kaki.
Untung sebelum saya berniat ikutan jalan kaki, ada satu bus lewat. Segeralah saya meloncat dan turun di depan Sarinah, Thamrin. Dari Sarinah berganti bajaj, kembali ke Sentiong.
14 Mei 1998. Menjelang siang saya mengontak kru Indosiar, menanyakan rencana syuting sore ini. Saya berharap syuting dibatalkan sore ini. Ngeri banget sepanjang malam nonton berita TV dan mendengan siaran Radio Sonora yang tak henti-henti mewartakan kondisi kota Jakarta diselingi berita keluarga seperti pembatalan resepsi pernikahan maupun pengumuman dari sejumlah sekolah dan instansi yang diliburkan hingga pengumuman berikutnya.
Dari Jogja teman-teman menelpon mengkawatirkan keadaan saya. Mereka juga menginfokan bahwa ada salah satu teman kami yang lagi cuti dan kabarnya tinggal bersama sepupunya di dekat Jogja Dept. Store yang terbakar itu. Hadyuh! "Coba telponi ya, Ta. Dari tadi ditelpon nggak nyampbung-nyambung," pesan teman-teman. "takunya dia waktu itu lagi jalan-jalan di Jogja Dept. Store...."
Bapak dan Ibu saya tak henti-henti bergantian menelpon dan menyarankan saya untuk tidak keluar rumah, jangan pulang dulu ke Jogja sampai situasi tenang. "Bilang sama ibu kos, numpang ngekos lagi sebulan," katanya penuh kawatir. Saya ternganga. Masak iya saya nggak bakalan bisa keluar dari Jakarta untuk waktu sebegitu lamanya? Duh, seminggu di jakarta saja sudah bisa membuat saya eneg....
14 Mei sore, saya mulai kelaparan. Sejak kemarin malam belum terisi nasi, sementara persedian snack juga sudah habis. Dengan perasaan was-was saya keluar dari gang Sentiong, mencari warung di sekitar rel kereta. Lumayan, dapat makan lauk tempe goreng kesukaan saya. Habis makan, saya tergoda melongok jalan Kramat Raya. Seperti apa sih kerusuhannya? Di pertigaan dekat Hotel Acacia, banyak orang berdiri di sepanjang Jl. Kramat Raya. Padahal jalanan sepi tak ada kendaraan yang melaju. Dan..heeiii...ada beberapa orang yang membawa troli penuh barang! Pasti barang hasil jarahan di Supermarket.
14 Mei, malam hari, teman-teman di kos berdatangan dan mengeluh karena terpaksa jalan kaki dari kantor. "Aku jalan dari Kampung Melayu....." yang lain menyahut, "Masih mending. Aku jalan dari Semanggi!"
15 Mei. Nggak inget lagi apa yang saya lakukan di kos. Sepertinya cuma tiduran, nonton TV, dengerin Sonora, dan membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi nanti. Kejenuhan mulai melanda. Mustinya hari ini saya sudah kembali ke Jogja. Tapi mana mungkin? Bahkan bajaj pun nggak banyak yang lewat di Sentiong.
16 Mei. Sama seperti hari kemarin. Oh ya, kabar dari Jogja katanya di Alun-alun dilangsungkan doa bersama Istiqosah.
17 Mei. Bagaimanapun, saya harus segera pulang! Saya nggak mau garing di belantara Jakarta. Bagaimanapun caranya, saya harus keluar dari kota ini. Minimal bisa sampai Bandung baru mencari kereta atau bus ke Jogja.
Habis mandi pagi saya coba melongok ke Kramat Raya. Sudah ada mikrolet lewat. Tapi ada beberapa tank yang terparkir. Wah, ngeri juga. Siangnya saya mengecek kondisi jalan lagi. Lumayan, sudah lebih ramai. Di Jl. Kramat Sentiong juga sudah ada beberapa bajaj dan bemo (dulu masih ada bemo) yang beroperasi. Berarti sore nanti saya bisa ke Gambir dong. Semoga.
18 Mei. Alhamdulillah saya tiba di Jogja dengan selamat. Dan langsung sibuk menyiapkan aksi damai rakyat Jogja mendukung reformasi 20 Mei 2008. Membikin spanduk untuk ramai-ramai jalan dari kampus mbulaksumur ke Alun-alun Lor.
No comments:
Post a Comment