Saya adalah anak tunggal yang sejak kecil dikader untuk menjadi perempuan mandiri oleh orang tua saya. Menyadari bahwa saya nggak punya kakak yang bisa direngeki dan dimintai tolong, saya dibesarkan dengan didikan untuk belajar survive dengan usaha sendiri. Salah satu caranya, adalah melatih saya “berpisah” dengan keluarga pada saat liburan sekolah. Sejak kelas 2 SD, setiap liburan sekolah tiba, saya pasti sudah diungsikan ke rumah Pakde, Bude, Oom, Tante atau kerabat lain yang bisa dititipi. Ya ke Bandung, Jakarta, Surabaya, atau ke Semarang dan kota lainnya. Orang tua baru menjemput saya menjelang liburan berakhir.
Saat dititipkan itu, biasanya Bapak juga memberi saya uang saku. Kalau liburnya cuma seminggu, uang sakunya lebih sedikit ketimbang pada saat libur sebulan pada akhir tahun ajaran. Uang itu harus saya manfaatkan sebaik-baiknya, buat jajan maupun buat beli sesuatu yang bermanfaat. Maksudnya, saya nggak boleh ngrepotin kerabat yang dititipin. Apalagi merengek-rengek minta dibelikan sesuatu saat lagi diajak jalan-jalan.
Karena punya uang saku sendiri ditambah punya nyali cukup untuk jalan, kalau lagi liburan di rumah kerabat saya juga suka curi-curi kesempatan buat keluar sendiri, naik angkot. Supaya bisa menikmati kemerdekaan jalan sendiri itu, kadang-kadang saya harus berbohong supaya nggak menimbulkan kekawatiran yang berbuntut pada larangan. Biasanya saya akan pamit mau beli es krim atau apalah ke toko anu di sebrang jalan. Karena tokonya nggak terlalu jauh dan bisa jalan kaki, ijin pun dikeluarkan. Horee..saya bisa nyetop angkot yang lewat depan toko itu lalu jalan-jalan sendiri.
Saya sering nggak puas mengunjungi suatu tempat secara barengan. Karenanya, begitu tahu jalan, besoknya pasti saya mencari peluang untuk mengunjunginya sendiri. Dan ini dia prestasi saya. Di Bandung, umur 9 tahun saya sudah berani naik angkot dari Buah Batu ke Alun-alun. Di Semarang, dari rumah Bude di Kaligawe naik angkot ke Pasar Johar. Di Surabaya, beredar sendiri ke Pasar Turi. Di Jakarta, naik bemo dari Rawasari ke Pasar Paseban. (Setelah gede, sampai setua ini, kalau lagi mengunjungi daerah tertentu, saya kan paling suka naik angkot dan pergi ke pasar! Rupanya memang karena dibentuk pengalaman masa kecil ini).
Kemandirian yang dibentuk orang tua lewat liburan sendiri itu mulai saya rasakan manfaatnya setelah beranjak dewasa. Saya nggak takut pergi ke mana-mana sendiri, termasuk ke daerah yang belum pernah saya kunjungi sekalipun. Orang tua juga merasa tenang jika saya pamiti akan pergi ke suatu daerah, karena mereka sudah mempersiapkan semua itu sejak saya masih bocah. Toh selama ini saya selalu kembali dalam keadaan utuh kan? Kalaupun ada hal-hal yang sedikit mengkawatirkannya, biasanya halangan seperti bencana alam, kerusuhan di wilayah Indonesia Timur, atau kecelakaan pesawat yang sering terjadi di negeri kita.
Kendala yang umum ditakuti perempuan yang bepergian sendirian adalah godaan usil dari para lelaki dan tindak kejahatan di jalan. Saya bersyukur termasuk perempuan yang ditakdirkan tidak memiliki daya tarik fisikal, sehingga lenggangan kaki saya tidak pernah menarik perhatian siapapun, apalagi oleh laki-laki iseng. Dan karena saya biasa pergi sendiri, aura yang terpancar dan tertangkap oleh orang lain adalah perempuan PD, nggak linglung meskipun sebenarnya lagi bingung mencari sesuatu. Dan karena kelihatan PD, penjahat pun males berbuat jahat pada saya.
Saya juga bersyukur punya suami yang nggak reseh meskipun istrinya sering pergi-pergi. Banyak loh perempuan yang semasa lajang gemar travelling dan setelah menikah terpenjara dengan rutinitas rumah tangga. Dan nggak sedikit perempuan yang menunda-nunda keinginan menikah hanya takut nggak bisa leluasa travelling lagi karena harus ngurusin anak dan suami. Yang sering terjadi adalah mencari pasangan yang sama-sama gemar menjelajah, sehingga bisa memahami hasrat petualangan pasangan, dan bisa travelling berdua dengan seru.
Saya enggak gitu tuh. Saya dan bojo adalah dua makhluk yang berbeda. Dia adalah makhluk fungsional yang nggak tergoda dengan hal-hal lain di luar yang tengah dipikirkannya. Sementara saya termasuk orang yang menemukan banyak ide justru ketika berada di tempat lain. “Tapi kamu kan orang Jawa, kok bisa suamimu mengijinkan pergi sendiri?” tanya seorang bule, penghuni kamar sebelah di sebuah losmen di Papua, dengan nada heran. Bule itu pernah 3 tahun tinggal di Jogja sebagai pengajar bahasa Inggris dan merasa cukup mengenali kebudayaan Jawa yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking.
Lagi-lagi saya bersyukur karena punya suami yang mengerti bahwa “going somewhere” adalah bagian dari kehidupan saya. Saya masih ingat saat kami jadian dulu, sekitar akhir ’91 atau awal ’92. Sehari setelah kami jadian, besok paginya saya berangkat ke Pacitan (Jawa Timur) selama 2 minggu, tinggal di sebuah desa di pinggir pantai yang tandus. Jaman itu kan belum ada ponsel dan kantor pos pun jauh banget dari lokasi penelitian yang tengah saya kerjakan. Akhirnya cuma bisa ngempet kangen karena belum sempet in-reyen. Hehe…
Meskipun saya sering meninggalkan suami karena urusan pekerjaan atau business trip, tapi kami juga sering travelling berdua kok. Kalau lagi merencanakan liburan, saya dan Bojo punya job-desk yang berbeda. Biasanya, saya yang menentukan kapan dan di mana kami akan berlibur. Maklum, jadwal kerja saya lebih kacau ketimbang jadwal kantorannya dia. Jadi dia memilih menyusuaikan waktunya dengan hari cuti saya. Saya sendiri biasanya memilih waktu cuti tahunan selepas Maret, setelah urusan laporan tahunan perusahaan kelar dibikin.
Selain menentukan waktu dan daerah tujuan, urusan booking tiket pesawat dan hotel juga menjadi tugas saya. Untuk perjalanan domestic, booking tiket dan hotel sih bisa by phone dan nggak menguras energi. Tapi kalau mau travelling abroad, dibutuhkan kejelian dan kesabaran dalam urusan booking-bookingan ini. Jeli dalam hal mencari flight fare termurah, sabar dan tekun googling dan browising internet tiap hari untuk membaca review traveller lain, dan siap-siap berteriak kesel ketika fun fare rate yang keduluan diambil orang pada saat proses booking.
Setelah urusan online booking ini beres, barulah Bojo saya serahi tugas membaca travel guide book atau referensi lain tentang daerah yang akan kami kunjungi. Termasuk mencari tahu di sana sedang musim apa, berapa suhu derajat udaranya, colokan listriknya kaki dua seperti di Indonesia atau kaki tiga gepeng, oh ya juga mencari info cultural event atau berbagai festival yang mungkin berlangsung pada saat kami di sana.
Tiba di daerah tujuan, nggak selalu kami jalan berdua beriringan kayak pasangan bulan madu loh. Seringnya malah jalan sendiri-sendiri. Saya dan Bojo pernah kayak orang main petak umpet, cari-carian, di Bayon Temple, kompleks Angkor Wat. Di Bali, saat nonton upacara Ngaben yang dipadati ribuan orang, kami jalan sendiri-sendiri sejak pukul 6 pagi dan baru ketemu lagi setelah pembakaran jam 8 malam. Sambil makan malam di warung, dia memperlihatkan foto-foto saya yang di-candid-nya. “Nih, tadi aku liat kamu.
Saat dititipkan itu, biasanya Bapak juga memberi saya uang saku. Kalau liburnya cuma seminggu, uang sakunya lebih sedikit ketimbang pada saat libur sebulan pada akhir tahun ajaran. Uang itu harus saya manfaatkan sebaik-baiknya, buat jajan maupun buat beli sesuatu yang bermanfaat. Maksudnya, saya nggak boleh ngrepotin kerabat yang dititipin. Apalagi merengek-rengek minta dibelikan sesuatu saat lagi diajak jalan-jalan.
Karena punya uang saku sendiri ditambah punya nyali cukup untuk jalan, kalau lagi liburan di rumah kerabat saya juga suka curi-curi kesempatan buat keluar sendiri, naik angkot. Supaya bisa menikmati kemerdekaan jalan sendiri itu, kadang-kadang saya harus berbohong supaya nggak menimbulkan kekawatiran yang berbuntut pada larangan. Biasanya saya akan pamit mau beli es krim atau apalah ke toko anu di sebrang jalan. Karena tokonya nggak terlalu jauh dan bisa jalan kaki, ijin pun dikeluarkan. Horee..saya bisa nyetop angkot yang lewat depan toko itu lalu jalan-jalan sendiri.
Saya sering nggak puas mengunjungi suatu tempat secara barengan. Karenanya, begitu tahu jalan, besoknya pasti saya mencari peluang untuk mengunjunginya sendiri. Dan ini dia prestasi saya. Di Bandung, umur 9 tahun saya sudah berani naik angkot dari Buah Batu ke Alun-alun. Di Semarang, dari rumah Bude di Kaligawe naik angkot ke Pasar Johar. Di Surabaya, beredar sendiri ke Pasar Turi. Di Jakarta, naik bemo dari Rawasari ke Pasar Paseban. (Setelah gede, sampai setua ini, kalau lagi mengunjungi daerah tertentu, saya kan paling suka naik angkot dan pergi ke pasar! Rupanya memang karena dibentuk pengalaman masa kecil ini).
Kemandirian yang dibentuk orang tua lewat liburan sendiri itu mulai saya rasakan manfaatnya setelah beranjak dewasa. Saya nggak takut pergi ke mana-mana sendiri, termasuk ke daerah yang belum pernah saya kunjungi sekalipun. Orang tua juga merasa tenang jika saya pamiti akan pergi ke suatu daerah, karena mereka sudah mempersiapkan semua itu sejak saya masih bocah. Toh selama ini saya selalu kembali dalam keadaan utuh kan? Kalaupun ada hal-hal yang sedikit mengkawatirkannya, biasanya halangan seperti bencana alam, kerusuhan di wilayah Indonesia Timur, atau kecelakaan pesawat yang sering terjadi di negeri kita.
Kendala yang umum ditakuti perempuan yang bepergian sendirian adalah godaan usil dari para lelaki dan tindak kejahatan di jalan. Saya bersyukur termasuk perempuan yang ditakdirkan tidak memiliki daya tarik fisikal, sehingga lenggangan kaki saya tidak pernah menarik perhatian siapapun, apalagi oleh laki-laki iseng. Dan karena saya biasa pergi sendiri, aura yang terpancar dan tertangkap oleh orang lain adalah perempuan PD, nggak linglung meskipun sebenarnya lagi bingung mencari sesuatu. Dan karena kelihatan PD, penjahat pun males berbuat jahat pada saya.
Saya juga bersyukur punya suami yang nggak reseh meskipun istrinya sering pergi-pergi. Banyak loh perempuan yang semasa lajang gemar travelling dan setelah menikah terpenjara dengan rutinitas rumah tangga. Dan nggak sedikit perempuan yang menunda-nunda keinginan menikah hanya takut nggak bisa leluasa travelling lagi karena harus ngurusin anak dan suami. Yang sering terjadi adalah mencari pasangan yang sama-sama gemar menjelajah, sehingga bisa memahami hasrat petualangan pasangan, dan bisa travelling berdua dengan seru.
Saya enggak gitu tuh. Saya dan bojo adalah dua makhluk yang berbeda. Dia adalah makhluk fungsional yang nggak tergoda dengan hal-hal lain di luar yang tengah dipikirkannya. Sementara saya termasuk orang yang menemukan banyak ide justru ketika berada di tempat lain. “Tapi kamu kan orang Jawa, kok bisa suamimu mengijinkan pergi sendiri?” tanya seorang bule, penghuni kamar sebelah di sebuah losmen di Papua, dengan nada heran. Bule itu pernah 3 tahun tinggal di Jogja sebagai pengajar bahasa Inggris dan merasa cukup mengenali kebudayaan Jawa yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking.
Lagi-lagi saya bersyukur karena punya suami yang mengerti bahwa “going somewhere” adalah bagian dari kehidupan saya. Saya masih ingat saat kami jadian dulu, sekitar akhir ’91 atau awal ’92. Sehari setelah kami jadian, besok paginya saya berangkat ke Pacitan (Jawa Timur) selama 2 minggu, tinggal di sebuah desa di pinggir pantai yang tandus. Jaman itu kan belum ada ponsel dan kantor pos pun jauh banget dari lokasi penelitian yang tengah saya kerjakan. Akhirnya cuma bisa ngempet kangen karena belum sempet in-reyen. Hehe…
Meskipun saya sering meninggalkan suami karena urusan pekerjaan atau business trip, tapi kami juga sering travelling berdua kok. Kalau lagi merencanakan liburan, saya dan Bojo punya job-desk yang berbeda. Biasanya, saya yang menentukan kapan dan di mana kami akan berlibur. Maklum, jadwal kerja saya lebih kacau ketimbang jadwal kantorannya dia. Jadi dia memilih menyusuaikan waktunya dengan hari cuti saya. Saya sendiri biasanya memilih waktu cuti tahunan selepas Maret, setelah urusan laporan tahunan perusahaan kelar dibikin.
Selain menentukan waktu dan daerah tujuan, urusan booking tiket pesawat dan hotel juga menjadi tugas saya. Untuk perjalanan domestic, booking tiket dan hotel sih bisa by phone dan nggak menguras energi. Tapi kalau mau travelling abroad, dibutuhkan kejelian dan kesabaran dalam urusan booking-bookingan ini. Jeli dalam hal mencari flight fare termurah, sabar dan tekun googling dan browising internet tiap hari untuk membaca review traveller lain, dan siap-siap berteriak kesel ketika fun fare rate yang keduluan diambil orang pada saat proses booking.
Setelah urusan online booking ini beres, barulah Bojo saya serahi tugas membaca travel guide book atau referensi lain tentang daerah yang akan kami kunjungi. Termasuk mencari tahu di sana sedang musim apa, berapa suhu derajat udaranya, colokan listriknya kaki dua seperti di Indonesia atau kaki tiga gepeng, oh ya juga mencari info cultural event atau berbagai festival yang mungkin berlangsung pada saat kami di sana.
Tiba di daerah tujuan, nggak selalu kami jalan berdua beriringan kayak pasangan bulan madu loh. Seringnya malah jalan sendiri-sendiri. Saya dan Bojo pernah kayak orang main petak umpet, cari-carian, di Bayon Temple, kompleks Angkor Wat. Di Bali, saat nonton upacara Ngaben yang dipadati ribuan orang, kami jalan sendiri-sendiri sejak pukul 6 pagi dan baru ketemu lagi setelah pembakaran jam 8 malam. Sambil makan malam di warung, dia memperlihatkan foto-foto saya yang di-candid-nya. “Nih, tadi aku liat kamu.
No comments:
Post a Comment