Lantas saya jadi teringat waktu pertama kali melihat perempuan Dayak Kenyah bertelinga panjang dan sekujur tubuhnya dipenuhi tatto yang menjual suvenir di pelataran Museum Mulawarman, Tenggarong Kaltim (1994). Hasrat memotret perempuan eksotis itu tertahan ketika rekan saya berbisik, "tarifnya lima ribu rupiah sekali jepret." Untuk ukuran kantong mahasiswa Jogja yang melancong ke Kalimantan Timur di liburan semester, mengeluarkan selembar lima ribuan untuk memotret orang terasa mahal sekali. Selain itu kuping saya juga masih merasa aneh mendengar tarif difoto yang nggak biasa terjadi di Jawa. Rasanya nggak rela memberikan bayaran pada mereka. Dan saya pun memilih untuk mengabadikan kenangan akan tatto orang Dayak Kenyah itu hanya dalam ingatan.
Rupanya tarif foto itu juga berlaku di kampung desa Pampang, sekitar 20 km dari Samarinda. Kampung yang kini dikenal dengan Desa Budaya Pampang ini dihuni masyarakat Dayak yang sadar wisata. Artinya, setiap saat dikunjungi, mereka juga siap ditanggap untuk memainkan atraksi tari-tarian maupun sekedar berpose dengan pakaian tradisional. Tentu saja ada tarifnya. Katanya sih sekali jepret mereka minta minimal bayaran Rp 20.000.
Saya pernah singgah di kampung Dayak Pampang sebentar. Bener-bener cuma sebentar dan sekedar pengin tahu, setelah sering membaca artikel di majalah tentang Desa Budaya Pampang. Kampung ini ternyata sepi-sepi saja. Baru ketika saya masuk ke pelataran depan lamin, rumah adat Dayak, (tapi yang ini tidak terlalu panjang), beberapa orang mulai mendekat, menawarkan jasa. Karena waktu itu saya datang sendirian dan niatnya memang cuma numpang lewat, saya pun memilih nggak berlama-lama di sana.
Desa lain di Kaltim yang kabarnya juga memasang tarif untuk pemotretan adalah Pepas Eheng, Kec. Barong tongkok, Kab. Kutai Barat. Di desa ini terdapat lamin adat suku Dayak Benuaq yang panjangnya hingga 100 meteran. Lamin Pepas Eheng ini bisa dibilang sebagai heritage karena saat ini sudah tidak banyak orang Dayak yang tinggal di lamin.
"Orang-orang di lamin Eheng biasanya minta bayaran kalau difoto," ujar salah seorang kenalan saya yang tinggal di Melak, sekita 40km dari Pepas Eheng. Saya terkejut. "Masa sih?". Tahun 1994 saya pernah tinggal 40 hari di lamin Pepas Eheng itu bersama teman-teman kuliah. Kala itu, kalau ada turis asing datang, mereka hanya berlarian menyerbu menawarkan suvenir berupa tas anyaman rotan. Para turis masih bisa leluasa memotret tanpa tarif. Kecuali jika mereka ingin menginap, mereka harus memberikan uang makan dan sekedar tip.
Tahun 2008 atau 14 tahun kemudian, memang banyak yang berubah di lamin Pepas Eheng. Meski secara fisik bangunan itu sedikit lebih baik, karena mendapat bantuan dari Pemda setempat. "Kami pengin membangun loket karcis di depan lamin," kata Pet, salah seorang penghuni lamin yang sudah menamatkan kuliahnya di Fakultas Hukum sebuah universitas swasta di Samarinda. "Wisatawan yang masuk ke lamin harus membeli karcis masuk," katanya lagi.
"Tapi kalau saya masuk ke lamin nggak ditarik bayaran kan, Pet?" komentar saya. "Ya enggaklah!" jawabnya sambil tertawa.
***
Ketika tiba di Wamena, saya melihat lelaki berkoteka di pelataran bandara. Tapi tidak sebanyak yang digambarkan rekan saya. Waktu itu cuma ada satu orang yang berkoteka, lainnya mengenakan pakaian biasa yang tertutup. Lelaki berkoteka itu rupanya menjual madu botolan yang ditentengnya. Lalu begitu melihat wajah asing saya, ia pun melangkah ke arah saya, menawarkan madu dagangannya. Tapi ketika saya menggeleng, dia menawarkan "dagangan" yang lain, "foto?". Saya langsung teringat pesan rekan saya, bahwa tawaran foto itu bukan barang gratisan. Jadi saya terpaksa menahan hasrat untuk mengabadikannya, sambil mencari-cari akal agar bisa mencuri gambarnya dengan ponsel kamera. Hehe...!
Selain di bandara, orang berkoteka juga bisa ditemui di pasar Jibama, sekitar 2 km dari kota Wamena. Atau di kampung-kampung. Yang paling banyak di kampung Aikima, distrik Kurulu sekitar 5 km dari Wamena. Tepatnya di honai (rumah adat suku Dani) yang menyimpan mumi yang berusia ratusan tahun. Di pelataran honai itu banyak lelaki berkoteka yang menanti wisatawan berkunjung. Sementara para perempuan yang duduk-duduk di bawah pohon biasanya masih mengenakan pakaian lengkap. Tetapi begitu ada tamu datang, mereka segera membuka baju berbahan kain yang menutup tubuhnya. Tinggalah pakaian tradisional rumbai-rumbai yang menutup bagian pinggang hingga sedikit di atas lutut, sementara bagian dada dibiarkan telanjang. Lalu mama-mama ini akan mendekati tamu sambil menawarkan suvenir berupa kalung dari kerang, dan berharap mendapatkan fee dari ajakan foto bersama.
Tarif foto bersama di honai Aikima beragam. "Tarif per orang per foto enam ribu rupiah," kata salah satu penjaga honai yang berkoteka. Tarif itu untuk foto bersama lelaki berkoteka. Kalau dengan Mama-mama, tarifnya diskon 50% alias hanya tiga ribu rupiah saja per orang per jepretan. Kalau ingin melihat mumi kita harus membayar sekitar Rp 30.000. Jika mumi sudah dikeluarkan dari honai dan ingin foto bersama, tinggal dihitung berapa orang yang ikut foto dan berapa kali jepretan. Begitu sesi pemotretan, barulah itung-itungan berapa total ongkos yang harus dibayarkan.
bisa aja sih kalau pengin curang. Apalagi teknologi kamera digital memungkinkan untuk melakukan pemotretan dengan multiple-expose. Sekali jepretan bisa menghasilkan beberapa frame. Tapi ternyata saya nggak tega melakukannya. Bahkan memberinya lebih.
Setelah beberapa hari tinggal di Wamena, dan merasakan mahalnya biaya hidup di sana, saya menyadari tarif yang mereka berikan masih dalam batas normal. Enam ribu rupiah nggak cukup untuk membeli sepiring nasi putih dengan sayur dan telor ceplok yang harganya lima belas ribu rupiah (kalau pakai ayam goreng jadi dua puluh ribu rupiah). Duit enam ribu itu cuma cukup untuk membeli segelas teh manis yang harganya lima ribu rupiah di pasar Jibama.
Sebenarnya banyak cara untuk bisa mendapatkan foto eksotis dengan murah. Antara lain dengan menanggalkan kesan turis atau wisatawan. Sebaliknya hadirlah sebagai seseorang yang menghargai perbedaan budaya, jangan menganggapnya terbelakang, dan cobalah ngobrol tentang apa saja yang sekiranya nyambung. Pada dasarnya mereka ramah dan suka difoto. Mereka bisa kegirangan dan minta difoto lagi jika kita tunjukin hasilnya, tanpa harus membayar sepeserpun.
Lihatlah foto saya yang memegangi kedua koteka ini. Foto ini membuat warga di kampung Sinatma tertawa terkekeh begitu melihatnya. "Kalau sudah sampai Jogja, jangan lupa kirim kemari ya," kata mereka sambil terus minta difoto dengan berbagai gaya. Nah lo, tampa harus membayar ternyata saya bisa mendapatkan foto yang paling eksotis sedunia. Hahaha....!
No comments:
Post a Comment