Bekas Ibukota Kerajaan Mataram ini mengawali sejarahnya manakala Sultan Hadiwijaya, menghadiahkan Alas Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang. Pada tahun 1575 putra Ki Ageng Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati, menjadikan wilayah ini sebagai Ibukota Kerajaan Mataram. Sebagai sebuah kerajaan Jawa, arsitektur kawasan ini mengacu pada prinsip Catur Gatra Tunggal yang direpresentasikan dengan adanya Kraton, Alun-alun, Masjid, dan Pasar.
Sisa-sisa arsitektur kota kerajaan Islam ini masih dapat kita rasakan dengan mengunjungi Kotagede. Dinding-dinding tinggi, lorong-lorong sempit, suara adzan bersautan, dan hirukpikuk pasar. Menyusuri lorong-lorong Kotagede merupakan perjalanan spirutual yang mengesankan. Di kompleks kawasan Kotagede ini terdapat petilasan Raja Mataram, Panembahan Senopati, yaitu makam para kerabat raja, padepokan, Sendang Selirang, Watu Gilang dan Watu Gatheng.
Makam Raja Mataram di Kotagede dibangun dalam kompleks yang luas. Di dalamnya terdapat 81 makam raja dan kerabat dekatnya. Makam ini dibuka untuk umum pada hari-hari tertentu saja, yaitu hari Senin dan Kamis mulai pukul 10.00 -12.00 WIB dan pada hari Jumat mulai pukul 13.00 – 15.00 WIB. Para pengunjung yang hendak melakukan ziarah dan tirakatan diharuskan berendam terlebih dahulu di Sendang Selirang yang letaknya di sebelah selatan makam.
Sendang ini terbagi menjadi dua, yaitu Sendang Kakung (laki-laki) dan Sendang Putri (perempuan). Kedua sendang ini memiliki sumber mata air yang berbeda. Sumber mata air Sendang Kakung berasal dari mata air tepat di bawah makam yang dialirkan melalui lubang saluran. Banyak ikan yang hidup di sendang ini, antara lain ikan lele putih yang panjangnya hingga 1 meter. Di situ juga terdapat makam kura-kura yang dikeramatkan dan diberi nama Kyai Duda Rejah. Sementara itu mata air Sendang Putri berasal dari sumber di bawah pohon beringin yang terletak di bagian depan jalan menuju kompleks makam.
Tak jauh dari kompleks makam dan sendang, sekitar 300 meter ke arah selatan, terdapat bangunan kecil tempat penyimpanan Watu Gilang dan Watu Gatheng. Batu hitam yang bentuknya menyerupai tempat duduk ini konon dipercaya sebagai dampar (tempat duduk) Panembahan Senopati. Selain itu juga terdapat tiga batu berwarna kuning berbentuk bola (Watu Gatheng). Konon, menurut legenda, batu ini merupakan alat permaianan Raden Ronggo, putra Panembahan Senopati. Meski batu itu berat, tetapi Raden Ronggo mampu mengangkat dan melempar-lemparkannya sebagai permainan. Legenda ini pula yang kemudian berkembang dan melahirkan mitos jika kita berhasil mengangkat Watu Gatheng, apa yang menjadi keinginan kita dapat terkabul.
Kini, kawasan Kotagede telah berkembang menjadi kawasan wisata sejarah dan budaya yang menarik. Selain dapat mempelajari sejarah kerajaan Mataram pertama, sebelum terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, di Kotagede kita juga dapat menikmati arsitektur rumah tinggal para saudagar keturunan Arab, Jawa, dan Belanda yang dulu tinggal di sana. Rumah-rumah mereka yang khas kini banyak dijadikan sebagai café dan galerry. Tak ketinggalan industri kerajinan perak Kotagede yang indah dan menggoda mata. Kotagede memang kota tua yang menyimpan keindahan.
No comments:
Post a Comment