Bagi masyarakat Tengger di kabupaten Probolinggo Jawa Timur, Bromo bukanlah sembarang gunung berapi. Kehidupan kosmologi masyarakat Tengger nyaris tak dapat dipisahkan dari Gunung Bromo. Gunung berapi yang berada di tengah lautan pasir atau segara wedi seluas kurang lebih 9 kilometer ini dalam kepercayaan orang Tengger dianggap sebagai Dewa Brama. Konon, nama Gunung Bromo berasal dari Dewa Brama dalam kepercayaan Hindu. Sementara itu, hubungan antara manusia dan roh halus di Gunung Bromo dapat dilihat dalam upacara Kasada yang rutin dilaksanakan setahun sekali.
Dalam legenda Kasada digambarkan bahwa cikal bakal masyarakat Tengger berasal dari “Joko Seger” dan “Rara Anteng”. Konon, kata Tengger juga diambil dari suku kata terakhir kedua nama pasangan ini, yaitu Rara Anteng dan Joko Seger. Setiap tanggal 14 bulan Kasada dalam sistem penanggalan Tengger, selalu diadakan upacara sesaji kepada roh Dewa Kusuma, putra bungsu Joko Seger dan Rara Anteng yang dijadikan korban untuk menyelamatkan keluarga dan masyarakat Tengger. Sebagai gantinya, setiap tahun roh Dewa Kusuma menginginkan sesaji dari masyarakat Tengger berupa hasil bumi yang dilemparkan ke dalam kawah Gunung Bromo.
Hingga kini masyarakat Tengger masih melangsungkan upacara Kasada. Legenda Rara Anteng dan Joko Seger dikisahkan kembali untuk mengawali rangkaian upacara Kasada kemudian dilanjut dengan berdoa kepada Dewa Gunung Bromo dan Dewa Kusuma yang dipimpin Lurah Dukun Tengger. Setelah itu, pada dini hari, barulah naik ke puncak Bromo dan melempar sesajian ke dalam kawahnya.
Sebelum mengirim sesaji kepada Dewa Kusuma sebagai inti dari upacara Kasada, dalam ritual ini biasanya juga dilangsungkan “pelantikan” bagi calon dukun di Tengger. Dalam upacara yang dikenal dengan istilah “Mulunen” ini calon dukun diwajibkan merapal mantra panjang tanpa putus. Mantra yang diucapkan dalam bahasa Jawa Kuno ini panjangnya hingga 1 jam. Setelah selesai mengucapkan matra, Lurah Dukun akan menanyakan pada dukun-dukun lain yang menguji, “Sah? Sah?” Jika jawabanya “Saahhh…” maka luluslah calon dukun dari ujian pendadaran.
Menghapal puluhan mantra memang syarat utama menjadi Dukun Tengger. Jumlah mantra yang harus dihapalkan oleh dukun mencapai 90 bab. Kehidupan sehari-hari para Dukun Tengger ini tak dapat dipisahkan dari mantra, karena setiap hari selalu ada warga yang datang menyampaikan suatu keinginan yang diteruskan oleh dukun melalui mantra-mantra.
Bagi masyarakat Tengger, keberadaan dukun sebagai pemimpin ritual memang sangat penting. Mereka adalah perantara masyarakat Tengger dengan Hyang Widhi Wasa, Sang Penguasa Jagad. Juga kepada Sang Hyang Brahma yang bersemayam di Gunung Bromo, kepada roh para leluhur, dan Buta Kala. Di tangan mereka pulalah, kelangsungan tradisi Tengger akan terjaga.
No comments:
Post a Comment