Finding the hidden treasure in every places I've been to. Semangat inilah yang selalu saya tanamkan dalam benak setiap kali melakukan perjalanan dinas. Bepergian dalam rangka pekerjaan memang tak sebebas pergi untuk berlibur. Selain nggak bisa memilih daerah tujuan, sesampainya di kota tujuan pun sudah dihadang dengan berbagai skedul yang musti diselesaikan seefektif mungkin sehingga bisa segera pulang. Begitu sampai rumah, masih harus merampungkan laporan hasil ber-business traveling itu.
Daerah yang saya kunjungi kebanyakan di wilayah Indonesia Tengah hingga Timur: Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Janganlah membandingkannya dengan kota-kota di Jawa pada umumnya, apalagi Jogja yang indah dan nyaman itu, sebagaian besar daerah di wilayah itu masih sulit diakses oleh transportasi umum. Jadwal penerbangan pesawat pun terkadang hanya beberapa kali terbang dalam seminggu. Di Papua tak jarang pesawat batal terbang karena cuaca buruk.
Selain medan yang kurang aksesibel, infrastruktur di beberapa daerah juga masih standard. Membuat saya selalu membatin, "oh indahnya Jogja, kampung halamanku.." Hahaha...
Oh ya, perjalanan dinas yang saya lakukan seringkali harus menemui orang-orang ternama di daerah, ya pengusaha, tokoh masyarakat, bupati, walikota, hingga gubernur. Hampir semuanya orang sibuk dengan mobilitas tinggi. Jadwal ketemuan yang sudah kami sepakati pun tak jarang berubah, bahkan bisa berganti hari.
Dalam masa "penantian" ini, tak banyak yang bisa saya lakukan selain harus standby sehingga sewaktu-waktu bisa meluncur sesegera. Kalau nggak banyak obyek wisata yang dekat dengan kota, detik-detik penantian ini biasanya saya isi dengan keliling kota naik angkot/ojek atau berjalan menyusuri lorong-lorong pasar tradisional.
Sensasi di Atas Angkot
Bagi saya, naik angkot merupakan sensasi tersendiri. Inilah saat di mana saya bisa menyatu dengan penduduk lokal dalam ruang berukuran sekitar 2 x 4 meter. Di antara deru mesin kendaraan dan musik dari soundsystem murahan di dalam angkot, saya berusaha menyimak percakapan para penumpang yang menggunakan bahasa daerah maupun bahasa Indonesia dengan logat lokal yang kental.
Kadang-kadang angkot juga bisa menguji kesabaran kita. Adakalanya angkot nggak mau jalan sebelum penumpang penuh. Di terminal pasar Jibama, Wamena (Papua) sopir baru mulai menyalakan mesin jika penumpang sudah penuh bertumpuk-tumpuk. Angkot jenis L300 yang idealnya hanya untuk 12 orang, di Wamena bisa berisi 21 orang dengan muatan barang belanjaan yang ditumpuk di atas kap. Untuk mendapatkan 21 penumpang itu, sedikitnya butuh waktu antara 1 - 2 jam.
Orang-orang sudah mulai gelisah dan nggak sabar. Tetapi saya tetap duduk manis di dalam angkot yang kursinya sudah jebol-jebol itu. Bau sampah pasar dan keringat penumpang menebarkan aroma yang mengalahkan semprotan The Body Shop di tubuh saya. Tapi saya justru menikmatinya.
Sensasi sejenis juga saya rasakan saat menyusuri lorong-lorong pasar tradisional. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di pasar tanpa membeli apapun (kecuali minuman karena kehausan). Saya berusaha untuk menyinggahi pasar tradisional di setiap kota yang saya kunjungi. Biasanya, pagi-pagi saya sudah meluncur ke pasar dengan angkot. Suasana pagi di pasar lebih terasa hiruk-pikuk karena masih banyak pedagang yang baru datang dari desa.
Pasar juga merupakan satu-satunya tempat di mana penduduk lokal bertemu, entah untuk bertransaksi atau sekedar nongkrong. Di pedalaman, pasar itu nggak ubahnya sebuah mall di kota besar yang menyedot orang untuk datang berduyun-duyun tanpa membeli sesuatu alias buat cuci mata.
Hhmm, saya jadi teringat saat ke Pepas Eheng pedalaman Kaltim tahun 1994 lalu. Hari pasaran yang jatuh setiap hari Selasa disambut dengan keriangan seluruh penghuni desa. Malam menjelang hari pasaran, atau pada hari Senin malam, pedagang-pedagang dari kecamatan sudah mulai berdatangan. Mereka menginap semalam di lamin (rumah panjang) supaya Selasa pagi-pagi sekali sudah bisa menggelar dagangan di Pasar Delit, yang terletak di sisi barat desa. Setiap Senin malam, terjadi kemeriahan di lamin. Lamin bak pasar malam yang terang benderang, banyak pedagang berkumpul, warga berduyun-duyun ke lamin, dan kemudian bermain tongkok (sejenis permainan dadu).
Esok paginya, kemeriahan itu berpindah di tanah lapang di sisi barat desa. Pasar Delit bagaikan magnet yang menyedot seluruh penghuni desa. Anak-anak sekolah pun membolos untuk ke pasar, menyusul Bapak dan Ibu Guru mereka yang juga tak ingin melewatkan momen sekali dalam sepekan itu.
Di pasar, seperti halnya di atas angkot, saya menemukan keindahan dan kekayaan budaya negeri ini. Terkadang, saya belajar tentang kearifan lokal dari sana.
Report perjalanan yang menarik.
ReplyDeletesalam dari Jogjakarta Indonesia.