Saat menyinggahi Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, bulan Juni 2007 lalu, saya dibuat terkesan pada rumah-rumah kayu berhalaman luas di lereng pegunungan Cyclops. Hingga saya rela bolak-balik pakai angkot mengitari kawasan ini. Apalagi pemandangan di sana sangat indah, puncak pegunungan Cyclops yang berkabut di atasnya, serta hamparan Danau Sentani di bawah yang membentang. Tetapi yang paling menyedot perhatian tetaplah rumah kayu yang dihuni para misionaris yang berhalaman luas dan hijau oleh rerumputan tempat para kanak-kanak bule berlarian riang. (Link ini mungkin bisa membantu memberi gambaran seperti apa rumah para misionaris di lereng Cyclops itu). Betapa nyamannya jika saya bisa tinggal di sana, batin saya ngiri.
"Mereka itu nggak cuma bisa bahasa Indonesia, tetapi juga fasih berbahasa Papua pedalaman," ujar sopir angkot -yang ternyata berasal dari Banyuwangi Jawa Timur- pada saya, penumpang yang duduk di bangku depan. Pak sopir bisa menebak wajah Jawa saya, sehingga ia pun yakin bahwa saya baru kali ini menginjak Sentani.
"Nah, yang di atas sana itu HIS," katanya lagi sambil menunjuk bangunan di atas bukit. Hhm yah, saya hanya mengangguk karena sehari sebelumnya kolega saya di Jayapura sempat mengajak menyinggahi Hillcrest International School ini saat akan mengantar saya ke Tugu Mac Arthur, tempat mendaratnya Mac Arthur pada Perang Dunia II, di Gunung Ifar, juga lereng Cyclops.
Di sekolah itulah anak-anak bule yang orang tuanya bertugas sebagai misionaris di Papua, menuntut ilmu. Dan salah seorang bekas muridnya, Sabine Kuegler, (situs Sabine dalam Bahasa Jerman ada di link ini) menuliskan memoarnya sebagai anak seorang antropolog dan linguis asal Hamburg - yang tinggal bersama Suku Fayu di pedalaman Papua. Memoar itu berjudul Jungle Child (2005) ditulis dalam bahasa Jerman dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (2007). Terbitan dalam edisi Bahasa Indonesia saya beli awal November 2007.
Dan persepsi saya tentang kehidupan nyaman para misionaris yang tinggal di rumah kayu berhalaman luas di lereng Cyclops, luruh sudah setelah membaca Jungle Child. Rumah yang ditinggali Sabine hanyalah rumah kayu di pinggiran sungai di pedalaman Papua yang setiap malam selalu didatangi aneka binatang, bukan di lereng Cyclops yang asri dan nyaman itu.
Sabine masih berusia 7 tahun ketika ia beserta Judith (kakaknya) dan Christian (adiknya) harus tinggal di antara Suku Fayu, tempat kedua orang tuanya mempelajari bahasa dan budaya masyarakat setempat. Klaus & Doris Kuegler, orang tua Sabine, adalah seorang misionaris yang dikirim ke daerah-daerah tertinggal. Sebelum dikirim ke Papua, mereka telah tinggal beberapa tahun di Nepal. Di sana pula Sabine dilahirkan hingga usia sekitar 3 tahun.
Selama 10 tahun tinggal di antara orang Fayu, Sabine pun tumbuh menjadi layaknya anak-anak Papua yang menyatu dengan alam. Berburu dengan busur dan anak panah, memakan segala macam binatang yang bisa dimakan: babi, ikan, daging buaya, sayap kelelawar, hingga cacing panggang. Dan beradaptasi dengan budaya setempat. Nilai-nilai yang tertanam dalam diri Sabine adalah nilai-nilai budaya Fayu, bukan budaya Eropa meski ia warga negara Jerman.
Gegar budaya pun menjadi penderitaan batin yang hebat bagi Sabine, ketika orang tuanya mengirim Sabine ke Swiss, melanjutkan sekolah dan tinggal di asrama Montreux, Zurich.
"Awal Oktober 1989. Usiaku tujuh belas tahun. Pakaian yang kukenakan adalah pemberian orang, celana kedodoran berwarna gelap, baju hangat bergaris, dan sepatu berleher tinggi yang menjepit kaki. Aku hampir tidak pernah mengenakan sepatu sebelumnya, jadi rasa sakit ini asing bagiku...." (hal. 13) demikian Sabine mengawali memoarnya saat menginjak stasiun kereta api Hamburg yang asing baginya. "Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berhadap-hadapan dengan kereta api sungguhan....Apa yang harus kulakukan, dorong atau tarik?..." tulisnya.
Hari pertamanya menginjak Eropa diwarnai dengan ketakutan pada dunia Barat yang membuatnya ngeri, yang begitu berbeda dengan kehidupan di hutan. Semua kisah mengerikan tentang bahaya di dunia modern yang pernah didengarnya, tiba-tiba dirasakannya begitu nyata. "Bagaimana aku harus melindungi diri? Aku tak membawa busur dan anak panah, atau bahkan sebilah pisau." (hal 17).
Begitulah, Sabine yang sejak kecil tumbuh bersama alam di lebatnya hutan Papua, harus beradaptasi lagi sebagai orang Eropa, tanah para leluhurnya. Bukan sesuatu yang mudah bagi Sabine, karena ia merasa hutanlah kampung halamannya dan tempat di mana jiwanya merasa nyaman. Ia bahkan pernah berusaha bunuh diri, melukai tubuhnya berulang-ulang dengan silet (hal. 362) demi mengalihkan kepedihan emosinya. Sabine merasa seakan hidup di dua dunia. Dan ia selalu ingin kembali ke hutan, ke Papua.
Dengan menuliskan kisahnya dalam Jungle Child, Sabine berusaha mengobati kerinduannya pada "kampung halaman"-nya, Papua.
-----
Dengerin wawancara BBC Londong dengan Sabine Kugler yuks...
No comments:
Post a Comment