Salah satu produk budaya yang sangat saya kagumi adalah kalender atau penanggalan tradisional. Lewat kalender, kita dapat mengenal sistem pengetahuan lokal tentang gejala alam dan kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya.
Saya beruntung pernah bertemu keluarga perumus kalender Bali, Bangbang Gde Bayu, cucu Bangbang Gde Rawi yang pertama kali merumuskan kelender Bali dan mencetaknya pada tahun '50-an. Berkat jasanya, rumusan kalender yang sebelumnya ditulis dalam daun lontar ini pun bisa diperbanyak dan dijual dengan harga terjangkau, sekitar Rp 5.000 per kalender. Mendapat kesempatan ngobrol dengan Gde Bayu membuat saya makin takjub dengan ilmu kalender.
Saya juga beruntung pernah tinggal 40 hari di pedalaman Borneo bersama masyarakat Dayak Benuaq dan berkenalan dengan Darmasius Madrah. Pak Madrah, demikian kami memanggilnya, adalah informan seorang antropolog dari Australia yang tengah melakukan riset untuk disertasinya. Michael, nama antropolog itu, kebetulan juga tinggal dalam satu lamin (rumah panjang) yang kami tempati. Sebagai antropolog yang masih yunior kala itu (1994), kami suka "mencuri" informasi dari Michael maupun Pak Madrah. Termasuk tentang bagaimana orang Dayak Benuaq punya "itung-itungan" tersendiri untuk menentukan kapan harus melakukan tindakan magis tertentu.
Ketika itu saya tak terlalu menaruh perhatian. Mungkin juga karena topik penelitian yang saya lakukan bukan tentang ilmu magis orang Dayak. Dan ternyata, tanpa perlu repot mencatat, hampir semua data itu diterbitkan dalam 2 buku oleh Pak Madrah, yang diberi judul LEMU: Ilmu Magis Suku Dayak Benuaq & Tunjung dan TEMPUUTN: Mitos dayak Benuaq & Tunjung. Kedua buku itu terbit 3 tahun setelah kami ke Pepas Eheng, Kaltim, desa tempat tinggal Pak Madrah. Saya langsung membelinya ketika menemukan buku itu di Gramedia.
Buku itu menjadi sangat berarti ketika beberapa bulan lalu adik ipar saya yang kini tinggal di Balikpapan memberi buah tangan berupa Kalender Dayak. Dia menemukannya di sebuah kios yang menjual benda-benda etnografi Dayak di pasar Kebun Sayur Balikpapan. Meskipun sudah banyak suvenir kalender Dayak yang dijual di kios-kios suvenir, tapi yang dibeli adek saya ini tampaknya "aseli" alias pernah digunakan masyarakat Dayak. Dia membelinya dengan harga Rp 200.000 itupun setelah melalui negosiasi. Jauh lebih mahal dari kalender suvenir yang dijual hanya sekitar Rp 30.000.
Saya juga percaya bahwa kalender itu orisinil. Salah satu buktinya karena terbuat dari papan kayu ulin. Gambar dan tanda-tanda yang terdapat dalam papan ulin tersebut juga mirip yang ada dalam buku Pak Madrah. Menurut Pak Madrah, kalender ini disebut Papaatn Ketika. Orang Benuaq dan Tunjung menggunakannya untuk menentukan kapan hari baik untuk berperang sehingga pasukannya terhindar dari serangan musuh. Setelah perang antar suku di Dayak sudah tidak lagi terjadi, orang Dayak masih menggunakan Papaatn Ketika untuk menentukan hari baik berburu binatang, membuka ladang, mencari jodoh, maupun mencari peluang bisnis.
Hanya saja, yang membuat saya heran dari Papaatn Ketika pemberian adek saya ini, kenapa ada tulisan Arab (Allah) di atas gambar orang. Bukankah orang Benuaq dan Tunjung kebanyakan beragama Nasrani? Kata penjualnya sih, kemungkin ini kalender suku Dayak Pasir yang sudah terpengaruh Islam. Entahlah...
Selain kalender Dayak, saya juga memiliki benda etnografi dari Batak berupa kalender. Yang ini oleh-oleh dari teman kuliah ketika ia melakukan riset ke Sumut beberapa tahun lalu. Tentang keasliannya (baca: pernah digunakan) saya kurang begitu tahu. Dari literatur yang saya temukan di internet pun disebutkan bahwa saat ini Porhalaan atau kalender Batak banyak dijual sebagai suvenir. Meskipun "hanya" sebuah suvenir, tetapi orang Batak membuatnya menyerupai barang aslinya. Mereka menggunakan tulang babi sebagai media untuk mengukir tanda-tanda yang digunakan untuk menghitung dan menentukan hari baik.
Nah, kalau kalender tradisional versi cetak yang hampir tiap tahun saya beli adalah Kalender Bali dan Kalender Cina. Kalender Bali jelas nemunya di Bali, dan jika memang berkesempatan ke Bali. Tapi Kalender Cina ini bukan saya temukan di Negeri Tiongkok loh, tapi cukup di Mangga Dua Jakarta saja. Saya membelinya di kios milik Koh Bak Siang (yang punya nama Indonesia: Susanto).
Setiap awal tahun, Koh Bak Siang mendapat titipan kalender dari suppliernya. Bentuknya aneka ragam. Dari yang digulung dalam kemasan bulat seperti tabung, hingga yang dikemas dengan dos persegi ukuran 50 x 50 cm. Grafisnya beragam, gambar-gambar binatang atau pepohonan. "Yang ini bacaannya apa, Koh?" Tanya saya penasaran. Lalu Koh Bak Siang mengatakan sesuatu dalam bahasa Tionghoa (entah dalam dialek dari daerah mana). Lalu saya ambil jenis yang lain dan saya tanyakan lagi padanya. "Jadi yang cocok buat saya yang mana nih?" Hahahaa...makin aneh pertanyaannya. "Orang Chinese itu nggak pernah bikin tulisan yang maknanya nggak bagus. Semuanya bagus," katanya. Ah, dasar bakul, batin saya. Toh, saya membeli beberapa biji juga akhirnya, meski tak tahu maknanya.
No comments:
Post a Comment